BAGI masyarakat modern, huruf yang sepintas mirip bahasa Thailand ini tentu terasa amat asing. Memiliki 33 abjad, karakter tulisannya unik karena cenderung melengkung serta agak lentik. Keberadaan huruf-huruf Jawa Kuno atau Aksara Kawi ini bukan hanya sekadar warisan budaya, tapi juga penanda kejayaan peradaban Indonesia di masa kerajaan.
Aksara Kawi sudah tak lagi digunakan sejak abad 16 Masehi. Seluruh warga Indonesia sekarang lazim memakai abjad latin untuk berkomunikasi. Meski begitu, bukan berarti Aksara Jawa Kuno bisa dikatakan punah. Di Kediri, Jawa Timur, huruf-huruf Kawi masih dirawat dan terus dipelajari hingga kini.
Upaya menjaga kelestarian aksara Jawa Kuno diwujudkan dalam forum bertajuk “Sekar Panulisan”. Sekolah kebudayaan ini merupakan kerja kolaboratif dari dua komunitas. Mereka adalah Komunitas Jawa Kuno Sutasoma dan Patembayan Jawadhipa-Cabang Dahanapura. Kelas tersebut diadakan secara gratis atau tidak dipungut biaya.
“Kelas ini bukan hanya sekadar ueforia yang hanya ramai-ramai bersantai, ada silabus pembelajaran yang tersusun rapi,” kata Aang Pambudi Nugroho, Sejarawan Kediri, Kamis 2 Desember 2021.
Ketua Kojakun Sutasoma itu menjelaskan, kelas ini mengadopsi bentuk Sekolah Taman Siswa yang dipelopori Ki Hajar Dewantara. Misinya tidak hanya mengajarkan para siswa agar cerdas secara intelektual, namun juga berbudi pekerti luhur. Kelas pertama dibuka pada Sabtu 27 November 2021 di kediaman AB Setiadji di Jalan Botolengket, Kelurahan Bujel, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri.
Aang menyadari, meski kelas digelar gratis, bahasa Jawa Kuno memang jarang diminati para generasi masa kini. Pada pertemuan pertama itu hanya empat siswa yang hadir. Namun, kuantitas bukan target utama. Aang dan para pengajar lainnya lebih mengedepankan kualitas, meskipun nanti yang akan diajar cuma satu siswa.
Bahan materi pembelajaran diambil dari inkripsi tinggalan arkeologi. Salah satunya dari prasasti Prasasti Boso Tulungagung. Teks berbahasa Jawa Kuno itu berbunyi Jatyahatrama. Jika diterjemahkan artinya kejujuran dan kepedulian kepada Rama atau Guru. Selain belajar tentang bahasa, pesan kebaikan itu juga turut mewarnai sepanjang jalannya pembelajaran.
“Belajar aksara Jawa Kuno ternyata tidak sesulit yang dibayangkan,” ujar Amelia Candra Kusuma, salah seorang peserta Sekar Panulisan.
Melalui kelas Jawa Kuno ini, Amelia banyak mendapat ilmu baru, baik itu tentang kisah sejarah, alur peradaban, maupun kebudayaan era Jawa Kuno. Sore itu, siswa yang mengikuti kelas Jawa Kuno semuanya memakai busana adat Jawa mulai dari kepala hingga kaki.
Menurut Aang, hal ini wajib dipatuhi para siswa. Upaya tersebut digunakan sebagai parameter kesungguhan mengikuti seluruh proses pembelajaran. Sedangkan sistem pembelajaran bahasa dilakukan dengan metode yang paling mudah agar mampu menghafal 33 aksara dengan cepat.
“Rencananya, materi pelajaran dibagi sebanyak sepuluh tahap,” ujar Aang.
Bagi siswa yang tidak dapat mencapai sepuluh tahap tersebut maka tidak diperbolehkan untuk mengikuti ujian kenaikan kelas. Itu merupakan cara para guru melakukan proses seleksi kepada para siswa. Siapapun yang berhasil mengikuti ujian dan dinilai memiliki kompetensi, selanjutnya akan direkomendasikan untuk mengajar kepada para siswa baru di kemudian hari.
Aang sudah menggelar berbagai forum pembelajaran Jawa Kuno selama hampir 10 tahun. Dia cukup hafal berbagai kendala dan permasalahan yang sering dihadapi oleh para penyelenggara. Misalnya, siswa tidak konsisten mengikuti pertemuan dengan beragam alasan. Ada juga siswa yang tidak serius karena kelas tidak memiliki aturan belajar yang baku dan ketat. Lalu, terjadi masalah internal di dalam komunitas yang menyebabkan terhentinya proses pembelajaran.
“Melalui manajemen pembelajaran seperti di Sekar Panulisan, diharapkan bisa menjadi tawaran solusi atas berbagai kendala tersebut,” ujar Aang.
Pada awal November 2021, muncul wacana bahwa kawasan Kediri layak disebut sebagai Ibukota Aksara Nusantara. Gagasan itu mencuat bersamaan dengan seminar persiapan Kongres Aksara Kawi pertama pada tahun 2022. Kota Kediri didapuk sebagai tuan rumah acara karena di daerah ini banyak ditemukan prasasti yang menggunakan huruf Kawi.
Wacana itu tentu disambut antusias oleh para pegiat kebudayaan, termasuk Aang. Dia berharap, acara itu bukan hanya sekadar perayaan saja, tapi bisa menyemai keberadaan kelas Aksara Kawi di Kediri. Sehingga, pemahaman tentang abjad Jawa Kuno setidaknya lestari. Lebih jauh, bisa dimanfaatkan untuk menguak kekayaan budaya yang tersembunyi di balik teks-teks kuno, agar dapat diwariskan ke generasi mendatang. (Kholisul Fatikhin)
Discussion about this post