Para alumnus Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Kabupaten Kediri, meyakini bahwa menjaga nilai-nilai Islam Ahlussunah Wal Jamaah (Aswaja) dan nasionalisme adalah bagian dari upaya menjaga kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dua hal itu akan ditegaskan dalam Musyawarah Nasional (Munas) ke-2 Alumni pesantren yang akrab disebut Pondok Ploso itu, pada 3-4 Maret 2018 mendatang, di Pondok Pesantren Mambaul Ma’arif, Denanyar (Pondok Denanyar), Jombang.
“Pesantren mempunyai peran signifikan dalam menjaga dua hal tersebut,” ujar Muhamad Ma’sum, ketua panitia Munas, Kamis, 1 Maret 2018. Komitmen itu pula yang melatar belakangi pilihan tema Munas, yaitu “Peran Pesantren dalam Memperkokoh Aswaja dan Nasionalisme”.
Ma’sum mengatakan, Islam ala Aswaja di Indonesia terbukti telah menunjukkan Islam yang ramah dan toleran. Sejajar dengan karakteristik bangsa Indonesia yang majemuk. Islam dan nasionalisme berjalan beriringan, sebagai benteng kedaulatan NKRI. Muslim Indonesia, lanjut Ma’sum, memiliki semangat nasionalisme yang kuat dibanding dengan negara muslim lain. Sebagaimana yang terjadi di beberapa negara muslim timur tengah, perang acap kali pecah oleh sebab krisis nasionalisme.
Sementara dipilihnya Pondok Denanyar selaku tuan rumah perhelatan, yang diperkirakan dihadiri lebih dari 500 alumni itu, bukanlah tanpa sebab. Pesantren tersohor dari Jombang ini merupakan salah satu pondok alumni dari Pondok Ploso. “Sejarah Pondok Ploso berkait erat dengan beberapa pesantren asal Jombang,” kata KH Abdussalam Shohib, pengasuh Pondok Denanyar. Gus Salam, begitu ia biasa disapa, berkisah, pendiri Pondok Ploso, KH Djazuli Usman, pernah nyantri di Pesantren Tebu Ireng, Jombang, dan berguru langsung kepada KH Hasyim Asy’ari.
Pondok Ploso berdiri sejak 1 Januari 1925 dan telah mencetak ribuan santri dari berbagai pelosok nusantara. Pesantren di ujung selatan Kabupaten Kediri ini, kini dikenal masyarakat luas akan rutinitas membaca serta mendengarkan Al-Quran dan dzikir berjamaah dengan istilah Jantiko Mantab dan “Dzikrul Ghofilin”. Kegiatan tersebut digagas oleh sosok karismatik, KH Chamim Djazuli atau Gus Miek, putra dari KH Djazuli Usman. (Naim Ali)