BAHASA Jawa mulanya tidak mengenal tingkatan seperti krama ngoko, madya, dan inggil. Kasta bahasa itu baru muncul sekitar abad 17 pada pemerintahan Kerajaan Mataram Islam. Di bawah kepemimpinan Raja Danang Sutawijaya, sistem feodal dibuat untuk membedakan kelas sosial di masyarakat. Termasuk, bahasa yang memiliki tingkatan atau istilahnya unggah-ungguh.
Kooptasi budaya tersebut menyebar di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun, ada kelompok masyarakat yang tak terpengaruh budaya buatan Mataram Islam, salah satunya yaitu kawasan Eks-Karisidenan Banyumas. Sehingga, terdapat perbedaan mencolok dari segi pengucapan bahasa sehari-hari. Dialek Banyumasan dikenal dengan Ngapak, sedangkan bahasa Jawa sistem Mataram disebut dengan bandhekan atau bahasa wetanan.
“Dialek Banyumasan yang sejak dulu sudah egaliter tidak terpengaruh kebudayaan Mataram Islam,” kata Ahmad Tohari, Kamis 5 Mei 2022.
Budayawan Banyumas itu menjelaskan, ekspansi budaya keraton Jawa tidak berpengaruh pada orang Banyumasan salah satunya karena kondisi geografis. Wilayah eks-Karsidenan Banyumas diapit dua sungai besar yang menjadi benteng pengaruh kerajaan, baik itu Jawa bahkan Sunda. Di sebelah barat, kekuasaan Kerajaan Sunda Priangan dibatasi Sungai Citanduy yang terletak di Banjar Patroman. Sedangkan sebelah timur, pengaruh kebudayaan baru Mataram Islam hanya sampai di Sungai Progo.
Kondisi tersebut memunculkan istilah Adoh Ratu Cedhak Watu yang artinya jauh dari penguasa dekat dengan bebatuan. Ungkapan itu menggambarkan aktivitas sosial dan budaya warga Banyumas yang hidup berdampingan dengan sungai, sawah, dan hutan.
“Bahasa Banyumasan atau Pangiyongan bisa dikatakan adalah bahasa kaum merdeka,” ujar Ahmad Tohari.
Orang Banyumasan mempunyai sistem bahasa dan budaya sendiri. Jika umumnya bahasa Jawa sekarang memakai bunyi vokal huruf “o”, bahasa Penginyongan menggunakan “a”. Contohnya, songo diucapkan sanga, piro menjadi pira, dan sopo jadi sapa. Secara fonologi, dialek Banyumasan masih mempertahankan sastra Jawa Kuno atau sansekerta. Keunikan pengucapan juga dijumpai pada kuliner, jika masyarakat umumnya menyebut soto, di Banyumas dikenal dengan Sroto. Baca juga: Mencicipi Sroto di Depot Raja Soto Lama H. Suradi Banyumas
Dari segi budaya wayang, Banyumas mempunyai lakon tersendiri yang disebut Gragag Banyumasan. Cerita pewayangan ini berbeda dengan gaya dari Solo dan Jogjakarta. Misalnya, salah satu tokoh Punakawan bernama Bawor yang tidak pernah menggunakan bahasa krama ketika berbicara kepada dewa sekalipun.
Sosok Bawor inilah yang menjadi representasi dari masyarakat penutur dialek Ngapak. Nilai filosofis yang terkandung di dalamnya yaitu menganggap semua orang memiliki kesamaan derajat. Hal itu masih satu prinsip dengan Bahasa Banyumasan yang bersifat egaliter atau tidak ada kasta. Sehingga, dalam percakapan sehari-hari, Ngapak disebut bahasa yang blakasuta atau apa adanya.
Baca juga: Bahasa Ngapak yang Lucu Itu Ternyata Berasal dari Kalimantan
Selain dialek Banyumasan, ada sejumlah kelompok masyarakat di Jawa yang tidak menganut budaya Mataram Islam. Di antaranya, dialek Bahasa Madura, Bahasa Tengger di kawasan lereng Gunung Semeru, dan Bahasa Osing di Banyuwangi. (Ryan Dwi Candra)
Discussion about this post