DI kawasan yang berada di lingkar cincin api pasifik seperti Indonesia, gejolak alam tak dapat diterka. Tsunami, gempa bumi, dan erupsi gunung berapi: bisa terjadi tanpa diprediksi. Misalnya baru-baru ini, ketika gelombang tsunami menerjang pesisir Pantai Anyer dan sekitar Selat Sunda pada Sabtu, 22 Desember 2018.
“Indonesia pantas dijuluki super market bencana, karena semua jenis bencana ada,” kata Wignyo Adiyoso, penulis buku Manajemen Bencana, Pengantar dan Isu-isu Strategis, saat berkomunikasi dengan Kediripedia.com via telepon, Rabu, 2 Januari 2019.
Pendapat yang diungkapkan oleh Wignyo, berlandaskan data yang dirilis oleh Assessment Global Report pada 2009. Dimana, Indonesia menempati urutan pertama dari 76 negara bahaya tsunami, peringkat pertama bahaya longsor di antara 162 negara, peringkat ketiga untuk ancaman gempa bumi dari 153 negara, dan keenam untuk banjir dari 162 negara.
Khusus mengenai tsunami, Wignyo menerangkan tentang teori-teori mengapa tsunami bisa muncul. Faktor penyebabnya antara lain; gempa bumi yang berpusat di dasar atau dekat dengan laut, tanah longsor di dalam laut, dan letusan gunung api di bawah laut atau gunung api di pulau. Selain itu, ada faktor lain yang menjadi pemicu munculnya tsunami. Di antaranya bom nuklir dan kegagalan percobaan teknologi.
Tanah longsor pernah menghasilkan tsunami dengan tinggi gelombang 350-500 meter. Peristiwa tersebut menimpa Alaska pada tahun 1958, ketika 81 Juta ton bebatuan dan es jatuh ke Teluk Lituya. Sementara itu, fenomena tsunami di Pantai Anyer tergolong gejolak alam yang unik. Sebab, tidak terdapat tanda-tanda akan munculnya bencana, seperti air laut yang tiba-tiba surut dan guncangan gempa. Oleh para ahli, kejadian itu disebut sebagai Silent Tsunami.
“Dari peristiwa di Anyer kita harus banyak belajar, pertanda tsunami yang selama ini diyakini masyarakat harus diperkaya lagi,” kata peraih gelar Ph.D dari Ritsumeikan University, Jepang bidang Community-Based Disaster Management itu.
Wignyo menambahkan, selain di Anyer, kejadian serupa pernah menimpa perairan Hilo Hawai, Jepang, serta beberapa negara sekitarnya. Gempa di laut dalam sebesar 9,5 SR tidak dirasakan di daratan. Sehingga, masyarakat tidak melakukan evakuasi sebagaimana mestinya. Alhasil, tsunami menyebabkan 61 orang korban jiwa di Hawai, sementara di Jepang sebanyak 138 orang meninggal.
Bagi masyarakat yang hidup dan menetap di lintasan rawan bencana, kewaspadaan merupakan faktor kunci. Salah satunya, dengan mengantongi wawasan seputar bencana. Sebab, untuk menghadapi bencana, pengetahuan merupakan bekal awal yang penting.
Di Indonesia, sudah banyak sumber referensi yang membahas kebencanaan. Demikian pula dokumen, kasus-kasus kebencanaan, statistik, konsep, kebijakan, dan laporan hasil kegiatan kebencanaan. Namun, menurut Wignyo, masih sedikit buku yang mengulas manajemen kebencanaan secara komprehensif dan berkaitan dengan isu-isu strategis kebencanaan. Alasan itulah yang mendorong Wignyo menulis buku Manajemen Bencana, Pengantar & Isu-isu Strategis.
Buku yang diterbitkan oleh Bumi Aksara itu mengupas bencana dari berbagai macam sisi. Mulai dari pengetahuan umum soal bencana, langkah mitigasi, hingga perkembangan aksi Pengurangan Risiko Bencana (PRB): dijabarkan secara terperinci. Buku berjumlah 394 halaman menguraikan pula segi pendidikan, riset dan teknologi terkait kebencanaan, jenis dan karakteristik ancaman, hingga data risk analysis dan risk assessment. Faktor spiritual masyarakat berupa ajaran agama, cultural heritage, serta kebijakan nasional manajemen bencana turut diuraikan. Resmi dirilis tahun 2018, kini buku tersebut sudah bisa dijumpai di toko-toko buku dan dapat dipesan via online.
“Pada buku Manajemen Bencana Alam, saya menuliskan tentang cara mitigasi bencana tsunami. Termasuk, bagaimana masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir harus mulai membangun Tsunami Culture,” ujar pria kelahiran Nganjuk, Jawa Timur.
Wignyo berharap, karya tulisnya tersebut dapat menjadi referensi dan bahan pemantik diskusi bagi aparat pemerintah, akademisi, peneliti, lembaga masyarakat, mahasiswa, sukarelawan, dan masyarakat terdampak bencana. “Semoga dapat memberikan kontribusi untuk meningkatkan tata kelola kebencanaan di Indonesia, yang pada akhirnya dapat mengurangi risiko bencana bagi masyarakat,” kata pria yang juga anggota Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI) itu. (Kholisul Fatikhin)