HANYA ada kontestan tunggal dalam Pilkada Kabupaten Kediri 2020, membuat bumbung kosong tampil sebagai penantang. Di bilik TPS mendatang, warga Kediri akan disuguhi dua kolom pilihan pada lembar kertas suara. Kotak pertama berisi foto pasangan calon tunggal, sedangkan yang kedua adalah gambar kosong tanpa wajah.
“Paslon Hanindhito Himawan Promono-Dewi Maria Ulfa berada di kolom kiri, sedangkan kotak kosong di sebelah kanan,” ujar Ninik Sunarmi, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Kediri.
Penetapan tata letak paslon di surat suara itu didapat, usai KPU menggelar Rapat Pleno tahapan pengundian nomor urut pada Kamis 24 September 2020, di Hotel Bukit Daun. Jalannya Pilkada Kediri yang hanya terdapat satu calon, maka pengundian nomor urut diganti dengan penentuan tata letak posisi pada surat suara.
Secara teknis, pelaksanaan pesta demokrasi dengan calon tunggal, tidak jauh berbeda dengan Pilkada pada umumnya. Pasangan Dhito-Dewi maupun bumbung kosong sama-sama berpeluang menjadi pemenang dalam Pilkada Kabupaten Kediri.
Kontestan dapat dinyatakan sebagai pemenang apabila perolehan suara melebihi 50 persen dari jumlah suara sah. Jika kolom tanpa wajah itu dicoblos 50 persen lebih, maka pemenangnya adalah bumbung kosong. Begitu pula sebaliknya, bila warga Kediri lebih banyak mencoblos kotak foto paslon, Dhito-Dewi baru bisa diputuskan sebagai pemenang.
“Angka 50 persen mengacu pada jumlah masyarakat yang mencoblos, bukan pada angka yang tertera di daftar pemilih,” kata Nanang Qosim, Komisioner KPU Kabupaten Kediri.
Bila pasangan calon tunggal ternyata kalah atau bumbung kosong yang menang, selanjutnya akan dilakukan pemilihan ulang. Pilkada lanjutan dilaksanakan sesuai jadwal yang diatur perundang-undangan. Kekosongan kursi kekuasaan di daerah nantinya dipimpin pejabat pelaksana tugas atau Plt yang ditunjuk Pemerintah Provinsi.
Meskipun Pilkada Kabupaten Kediri hanya ada satu paslon, masyarakat masih punya pilihan untuk mencoblos kotak sebelah kiri atau sebelah kanan. Hadirnya kotak kosong merupakan wadah untuk menampung suara masyarakat Kediri yang tidak sepakat dengan pasangan calon yang ada.

Mulai disahkan KPU Pusat sejak tahun 2015, kotak kosong sebenarnya bukan hal baru. Mekanisme ini merupakan serapan dari sistem pemilihan kepala desa (pilkades). Bumbung kosong sudah dikenal masyarakat pedesaan, bahkan jauh sebelum Komisi Pemilihan Umum dibentuk.
Dahulu, pemungutan suara dilakukan dengan memasukkan batang lidi ke dalam bumbung dari bambu. Tabung bambu itu berfungsi mewakili aspirasi pemilih. Jika perolehan jumlah lidi lebih banyak dari pada calon sah, itu menandakan penolakan masyarakat pada keberadaan calon. Bisa juga menjadi wadah aspirasi warga sebagai ketidaksetujuan pada sistem pemilihan.
Memasuki masa kampanye Pilkada Kabupaten Kediri, ajakan memenangkan kotak kosong semakin gencar. Para relawan bumbung kosong mulai bergerak melakukan sosialisasi. Entah itu lewat pemasangan spanduk di berbagai lokasi maupun di postingan media sosial.
“Bila ada kelompok yang hendak mensosialisasikan kotak kosong tetap diperbolehkan,” ujar Nanang Qosim.
Para relawan kotak kosong itu akan melawan seluruh partai politik di Kabupaten Kediri yang sepakat menyerukan dukungan pada pasangan Dhito-Dewi. Partai yang mengusung yaitu PDI Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera, Demokrat, Golkar, Nasdem, Gerindra, dan Partai Persatuan Pembangunan. Sedangkan dari partai pendukung non parlemen yakni Hanura, Partai Garuda, dan PSI.
Hadirnya kelompok yang menyuarakan kotak kosong, membuat kontestasi pemimpin di Kabupaten Kediri dengan calon tunggal semakin menarik. Fenomena kotak kosong yang mengejutkan publik salah satunya Pilkada di Makassar, Sulawesi Selatan. Di gelaran pesta demokrasi tahun 2018 itu, pasangan Munafri Arifuddin dan Rachmatika Dewi Yustitia Iqbal dinyatakan kalah melawan kotak kosong dengan selisih 36.000 suara lebih.
Jika ternyata pasangan Dhito-Dewi bernasib sama seperti di Makassar, tentu akan banyak mengubah arah peta politik di Kabupaten Kediri. Calon tunggal yang dinyatakan kalah, memang dapat kembali mencalonkan diri pada Pilkada edisi selanjutnya. Namun, susunan parpol pengusung dan pendukung mungkin saja berubah. Tidak ada jaminan parpol atau koalisi parpol lama akan tetap mendukung calon tunggal yang kalah. (Kholisul Fatikhin)
Discussion about this post