JIKA lepas maghrib melintas Jalan Urip Sumoharjo, Kota Kediri, Jawa Timur, sempatkan menoleh ke kiri. Sekitar 100 meter menjelang lampu merah Jetis dari arah alun alun, seorang lelaki setiap hari duduk bersila di trotoar. Raut mukanya bercahaya, karena di depannya berpendar lampu-lampu lucutan gas atau dikenal dengan sebutan lampu fluorescent.
Penerang berbentuk ulir dan bercahaya seperti lampu neon itu memenuhi meja setinggi 30 centimeter. Di tepi jalan utama menuju Tulungagung itu, Sutomo, lelaki kelahiran 1978, menawarkan jasa memulihkan kembali lampu yang tewas. “Lampu-lampu yang tidak bisa menyala, saya ganti dengan kaca baru yang kandungan gasnya masih utuh,” kata Sutomo, Kamis, 7 April 2016 malam.
Penemuan lampu dengan kandungan gas argon, neon, kripton, dan xenon: telah menggeser kejayaan lampu pijar (incandescent) yang dulu populer dengan sebutan bola lampu. Meskipun teknologi terbaru perlampuan sudah memasuki era LED yang hemat listrik, tapi lampu fluorescent masih dianggap paling nyaman. Selain pendaran cahayanya lebih nendang, jika rusak bisa diperbaiki. “Peluang nyervis lampu ini yang saya ambil untuk mencari nafkah,” kata Bung Tomo, panggilan Sutomo.
Saat ini, kebutuhan cahaya penerang sudah seperti bahan bakar minyak atau pulsa. Semua orang tergantung pada benda temuan Thomas Alva Edison itu. Tak ayal, banyak orang terjun ke usaha perlampuan, termasuk jasa menghidupkan lampu yang tepar.
Tomo bukan yang pertama. Sebelum dia membuka lapak kaki lima servis lampu dua tahun lalu, sudah banyak orang menjual jasa seperti itu. Bedanya, jika tukang lainnya mengerjakan dengan kedua tangan mereka, Tomo menggunakan tangan kakinya.
Ya, warga Desa Semen, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri itu secara fisik memiliki keterbatasan yang di masa kini disebut disabilitas atau lebih lazim disebut difabel (different ability people). Tangan kirinya cacat sejak lahir: mengecil, hanya ibu jari yang utuh. Sedangkan tangan kanan, jari-jarinya lengkap dan berfungsi normal. Kedua kakinya juga mengecil, tapi bisa menopang badan dan bisa dipergunakan untuk berjalan.
“Kedua kaki Bung Tomo tidak tumbuh normal akibat terinjak-injak penonton saat menonton orkes dangdut di masa kecilnya,” kata Pramono Nano, lelaki kelahiran 1982 yang setiap hari menemani Tomo menyervis lampu.
Meskipun kondisi fisiknya tidak sempurna, keterampilannya mengurai kabel dan menata instrumen kelistrikan tidak kalah dengan tukang lain. Bahkan boleh dibilang lebih cepat, akurat, dan presisi. Lampu yang bermasalah, dia jepit dengan kedua telapak dan jari-jari kakinya. Kemudian, tangan kanannya mengurai semua instrumen. Proses penyambungan kabel lampu baru dilakukan dengan cermat. Bagian yang perlu dilem, juga dikerjakan dengan tepat.
Ketika menyolder kabel, tangan kirinya yang relatif pasif, ternyata sangat membantu. Kawat timah dia lilitkan di ibu jari tangan kiri, kemudian ditaruh di posisi penyolderan berbarengan dengan ujung alat patri listrik yang sudah memanas. Hasilnya, terjadi penyambungan yang presisi dan rapi. “Keterampilan ini saya peroleh dari teman-teman, dan alhamdulillah bisa saya pakai untuk menghidupi keluarga,” kata Tomo.
Keluar dari bangku sekolah ketika duduk di kelas 3 Sekolah Dasar, Tomo memilih menempa dirinya menjadi mandiri. Bergaul dengan masyarakat luas dan belajar berbagai keterampilan secara otodidak. Meskipun ada Sekolah Luar Biasa (SLB), Tomo tidak pernah berkesempatan memasukinya. “Dulu tidak ada yang mengarahkan, jadi saya berusaha sendiri bagaimana caranya tahan banting agar mampu bertahan hidup mandiri,” kata dia.
Sebelum menjadi tukang servis lampu, Tomo pernah berjualan koran di alun alun Kota Kediri. Kemudian membuka jasa servis televisi dan radio di rumah. Ketika jasa elektronika surut, dia banting setir menjadi tukang jahit sepatu. Semua profesi itu dia pelajari dari teman-temannya. “Saya tidak pernah tercatat ikut program pembinaan penyandang cacat. Mungkin sudah nasib saya,” kata Tomo sambil terkekeh.
Dari pekerjaannya menyervis lampu mulai pukul 17.00 – 23.00, tiap hari Tomo bisa membawa pulang sedikitnya uang Rp 100 ribu. Selain untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sebagian penghasilannya ditabung untuk biaya sekolah Sriyah, putrinya yang kini duduk di kelas 5 Sekolah Dasar.
Tomo bercita-cita bisa menyekolahkan anak hasil perkawinannya dengan Sumiah itu setinggi-tingginya. “Meskipun saya hanya pernah sekolah sampai kelas 3 SD, tapi saya percaya pendidikan itu penting,” kata Tomo.
Untuk menambah penghasilan, di siang hari dia juga aktif mencari obyekan yang menguntungkan. Alat transportasi yang dipergunakan untuk mobilitas sehari-hari dan memperluas hubungan adalah sepeda motor Honda Prima yang dimodifikasi beroda tiga. Di atas motor dengan perseneling tongkat itu Tomo terus melaju, memperjuangkan kemuliaan dan kebahagiaan orang-orang yang dia kasihi. (Dwidjo U. Maksum)
Nomor Kontak Bung Tomo : 081233598557