DUA orang saling menghujamkan cambukan. “Plak-plak…!” Suara dari pecut ketika dihempaskan ke bagian perut dan punggung secara brutal. Di atas panggung berukuran 5×5 meter, mereka menahan rasa sakit dari pukulan cambuk yang dibuat dari pilinan batang rotan dan lidi.
Pemandangan tersebut bukanlah seni debus ataupun atraksi kuda lumping. Pertunjukan itu merupakan kesenian Cambuk Tiban. Warga di Desa Surat, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri, secara rutin menggelar ritual ini di penghujung musim kemarau.
“Acara Tiban kami gelar sebagai media untuk memanggil hujan,” ujar Komaruddin, salah seorang perangkat Desa Surat, Sabtu malam, 8 September 2018, di lokasi acara.
Perayaan adat ini sudah diadakan turun-temurun di Desa di lereng Gunung Wilis itu. Menurut Komar, selain menggelar Tiban, warga juga meminta datangnya hujan dengan mengadakan manaqib, istighosah, dan pengajian.
Ratusan peserta yang mengikuti kesenian ini, dibatasi aturan tertentu. Mereka hanya diizinkan memukul anggota tubuh di bawah leher hingga di atas pusar. Selain itu, tidak diperkenankan.
Pukulan cambuk pun harus dilayangkan secara bergantian. Sebelum tiap-tiap sabetan cemeti dilancarkan, mereka berdiri berhimpitan sambil menari lewat alunan musik tradisional. Dua orang di atas arena diberi jatah sama untuk memukul, yakni sebanyak lima kali.
“Tidak boleh kurang, tidak boleh lebih,” kata Komar.
Para peserta yang berlaga didominasi oleh warga asli Desa Surat. Selebihnya, merupakan partisipan undangan dari daerah lain. Di antaranya, dari Nganjuk, Blitar, dan Tulungagung serta dari desa-desa tetangga.
Sekitar seratus orang lebih yang mengikuti kesenian Tiban ini, tidak dibatasi usia tertentu. Remaja hingga lansia dapat secara bebas berpartisipasi pada acara yang didukung oleh PT Gudang Garam,Tbk. itu. Supaya acara berjalan adil, beberapa panitia di atas panggung bertugas mengatur setiap peserta agar mendapat lawan sepadan.
Ada 90 babak yang dilangsungkan pada malam itu. Kerasnya sabetan pecut, membuat sebagian anggota tubuh para peserta dipenuhi luka bilur, bahkan mengucurkan darah. Meski begitu, mereka sama sekali tak menyimpan rasa dendam. Setelah turun dari arena, mereka saling melempar senyum dan canda.
Menurut Zaenuri, salah seorang peserta, acara Tiban diikutinya dengan tujuan menguatkan persaudaraan. Pria asal desa Badal, Kabupaten Kediri itu mengaku sudah menggemari tiban sejak masih remaja.
“Saya tadi ikut dua babak, kalau hanya satu rasanya kurang puas,” kata lelaki yang sehari-hari bekerja sebagai pengrajin batu bata ini.
Menurut Zaenuri, kesenian Tiban kini hanya dapat dijumpai di wilayah Kediri bagian selatan. Sementara di kawasan Kediri utara, suara pecutan Tiban sudah tak terdengar lagi. Dia berharap, kesenian warisan leluhur ini terus diramaikan, sehingga tetap lestari. (Kholisul Fatikhin)