oleh Muchammad Nabil Haroen
Labbayka allahumma labbayka, labbayka laa syariiika laka labbayka, innal hamda wanni’mata laka wal mulk, laa syariika laka.
“Aku memenuhi panggilanMu ya Allah aku memenuhi panggilanMu. Aku memenuhi panggilanMu tiada sekutu bagiMu aku memenuhi panggilanMu. Sesungguhnya pujian dan ni’mat adalah milikMu begitu juga kerajaan tiada sekutu bagiMu.”
Lantunan talbiyah ini terus bergema dan keluar dari lisan kami setelah kami berniat ihram dari miqat kami di Bir Ali. Selama perjalanan meninggalkan Madinah hingga Bir Ali, rasanya berat hati ini berpisah dengan Madinah. Namun memenuhi panggilan Allah dan berharap ridlaNya lah yang membuat kami selalu kuat.
Talbiyah kami adalah syiar tauhid, hal yang paling dicintai oleh-Nya, mengakui bahwa nikmat dan kekuasaan adalah milikNya semata, mendekatkan kami kepada-Nya. Sebagaimana Rasulullah sabdakan, tatkala kami bertalbiyah, maka bebatuan, pepohonan dan makhluk bernyawa, hingga berbagai belahan bumi pun ikut bertalbiyah. Merinding seluruh badan kami tatkala semakin dalam kami bertalbiyah. Masya Allah, subhanallaah!
Kain ihram yang menempel di badan kami adalah tanda bahwa kelak, hanya inilah yang akan kami bawa menghadapNya. Harta dan tahta tidak akan menemani kami, kecuali hanya kain putih dan amal kami selama di dunia. Semua manusia di hadapanNya sama, hanya amal dan ketakwaan yang membedakannya. “Inna akramakum ‘indalLaahi atqaakum.” Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang paling bertakwa di antara kalian. (QS. Al Hujurat: 13)
Perjalanan kami terus berlalu hingga kami pun masuk Tanah Haram, Makkah Al Mukarramah, hingga masuk di Masjidil Haram. Mulut kami seakan terkunci kecuali berucap syukur dapat kembali menyaksikan Ka’bah, kiblat kami dalam salat. Jika selama ini Ka’bah ada dalam bayang dan angan, kini benar-benar ada di depan mata kami. Sungguh nikmat dan anugerah yang luar biasa bagi kami.
Langkah kami berlanjut untuk menjalankan ibadah tawaf, memutari Ka’bah tujuh kali putaran, “menjaga rotasi dari peredaran bumi”. Kami hanya mampu berucap syukur, berserah diri, dan memuji Rasulullah. Dalam setiap putaran kami, rasanya ingin sekali segera menghadapNya, tiada lain karena kami tak “memliki” apa-apa lagi kecuali cinta setelah cinta, cinta kepada-Nya.
Setelah selesai tawaf, sai, menjadi ritual yang kami jalani. Berlari-lari kecil dari Bukit Shafa ke Marwa selama tuju kali pula. Kami pun merasakan lagi betapa cinta kepadaNya adalah sebenar-benarnya cinta, cinta yang hakiki. Ibadah sa’i ini mengajarkan kami bagaimana berjuang memertahankan hidup. Bahwa tantangan dalam kehidupan adalah keniscayaan. Yang kami jalankan saat sa’i tentu tidak sebanding dengan apa yang dulu Sayyidatina Hajar alami bersama Nabiyyuna Ismail. Air Zam Zam yang kami nikmati saat ini adalah rahmat yang tiada pernah berkurang sama sekali.
Melalui ibadah ini kami terus belajar arti kegigihan, optimisme, istiqamah, disiplin, dan keikhlasan. Dari sini pulalah kami harus jauh-jauh membuang sifat takabbur, sombong, hasud, dengki, dan segala sifat buruk yang melekat pada kami. Allah berjanji bahwa dalam setiap kesulitan pasti ada kemudahan, inilah yang menguatkan dan memberi pelajaran berharga bagi kami. Hingga akhirnya ibadah umrah kami selesaikan dan kami akhiri dengan memotong sebagian rambut kami (tahallul). Kami pun segera beristirahat dan kembali menyiapkan stamina kami untuk kembali menjemput ibadah-ibadah kami berikutnya.
Keesokan harinya kami pun segera menjalani aktifitas kami. Mencari pahala 100.000 kali lipat tatkala kami salat berjamaah di Masjidil Haram dan merenungi segala amal perbuatan kami di tempat ini. Wasysyukrulillah, kami juga dapat kembali menjalankan tawaf Sunnah, berdoa di maqam Ibrahim, dan Hijr Ismail. Dan yang membuat kami kembali menitikkan air mata adalah ketika karunia Allah atas kami dapat mencium kembali Hajar Aswad. Alhamdulillah kami dipermudah, dan dapat memanjatkan doa di Multazam. SubhanalLaah, tak henti-hentinya kami bersyukur kepadaMu Yaa Allah!
Kami juga berziarah ke tempat-tempat bersejarah dan penuh berkah di kota ini. Jabal Rahmah, Jabal Tsur, Muzdalifah, Mina, hingga Arafah adalah napak tilas ibadah kami dan mengagungkan kebesaranNya.
Hingga tak terasa, jari-jari ini harus terhenti karena kumandang adzan memanggil kami. Shalat Jumat di Masjidil Haram. SubhanalLaah wal hamdu lilLaah wa laa ilaaha illalLaah walLaahu akbar! (bersambung)