Buku berjudul “Religion of Java”, ditulis oleh seorang antropolog tersohor, Clifford Geertz, banyak dijadikan rujukan kelompok studi kebudayaan seantero dunia. Daerah yang dikenal dengan sebutan Modjokuto di Jawa Timur, dipilih Geertz sebagai basis penelitiannya. Setelah karya literasi itu mengemuka di ranah internasional, Modjokuto sempat menjadi misteri, di mana tepatnya berada.
Selang beberapa tahun, diketahui bahwa lokasi yang banyak jadi bahan pembicaraan tersebut adalah Pare, Kabupaten Kediri, wilayah yang kini identik dengan Kampung Inggris. Meski terletak di pedalaman, kondisi ekonomi Modjokuto saat itu cukup hidup. Kehidupan masyarakatnya pun sangat kompleks, dihuni oleh beragam agama dan ras.
“Sebuah daerah dengan pusat ekonomi, administrasi dan pendidikan, memiliki populasi hampir 20.000. Sekitar 18.000 di antaranya adalah orang Jawa, 1.800 Cina, dan sisanya adalah segelintir orang Arab, India dan minoritas lainnya,” terang Geerzt dalam bukunya “Religion of Java”, terbit pada tahun 1960.
“Religion of Java” mulanya disusun untuk memperoleh gelar Doktor dari Harvard’s Departement of Social Relations . Ditulis dari hasil penelitian dalam rentang waktu satu tahun empat bulan, pada Mei 1953 sampai September 1954, di Modjokuto.
Tidak diketahui secara pasti di mana Geert menetap selama meneliti Modjokuto. Menurut kesaksian Nur Hasan, dia kerap mengunjungi kediaman ayahnya, KH Ahmad Yazid, pengasuh Pondok Pesantren Darul Falah, Tulungrejo, Pare. KH Ahmad Yazid dikenal menguasai bermacam-macam bahasa asing, antara lain Inggris, Arab, Spanyol, Jerman, Belanda dan Urdu.
“Waktu itu Geerzt sering berkunjung ke rumah. Jika sudah diskusi dengan bapak, bisa lama sekali,” kenang Nur Hasan. Kala itu Ia tidak bisa memahami pembicaran KH Ahmad Yazid dan Clifford Geertz. Namun dia ingat betul pengalaman pertama kali berjumpa dengan Geerzt sewaktu masih kecil. Gambaran yang ditangkap oleh pria tujuh puluh tahun itu, Geerzt adalah sosok yang ramah dan telah fasih berbahasa Indonesia.
Kerapkali Geerzt bertandang sendiri ke rumah KH Ahmad Yazid. Hanya kedatangan kedua, Ia bertamu bersama istrinya. Saking seringnya Geertz berkunjung ke rumah KH Ahmad Yazid, Nur Hasan beserta teman sebaya memberikan nama Jawa pada Geertz. “Saya akrab memanggil dia dengan ‘Pawiro’. Jadi kalau Geertz datang, saya sontak berteriak ‘eh, Pawiro datang, Pawiro datang’,” kisahnya sambil terbahak-bahak.
Antopolog kelahiran San Francisco ini sengaja menyamarkan nama tempat risetnya. Geertz mengatakan nama Modjokuto hanyalah pseudonim (nama samaran) belaka. Wajar bila akhirnya beragam spekulasi tentang asal-usul istilah Modjokuto bermunculan. Seperti apa yang dipahami Nur Hasan, “Sayuran pare itu kan rasanya pahit, sama seperti buah mojo, jadi mungkin dia menyamarkannya jadi Modjokuto”.
Dalam buku berjudul “In Search of Middle Indonesia” terbitan KILTV Leiden, tahun 2014. Ben White, salah seorang penulis dalam karya tulis tersebut menilai, latar belakang Geerzt menggunakan nama Modjokuto diilhami dari Middletown, nama daerah di Muncie, Indiana, Amerika Serikat. Middletown sendiri pernah diteliti oleh sosiolog Robert Lynd dalam buku “Middletown : A Study in Contemporary American Culture”.
Modjokuto berarti Middletown, begitu penilaian dari Ben White. Keduanya dianggap punya kondisi sosial yang hampir mirip, yaitu dihuni oleh beragam latar budaya. Namun jauh sebelumnya, lewat buku “Available Light” pada tahun 2000, Geerzt menyangkal keterkaitan Modjokuto dengan Middletown.
Nono Makarim, salah seorang mahasiswa Geerzt di Harvard University, punya pendapat yang berbeda. Dalam seminar dengan tajuk “Memperbincangkan Kembali Pemikiran dan Teori Clifford Geertz”, di Freedom Institute, 4 Desember 2006, ia berpendapat bahwa nama Pare yang disamarkan itu adalah bagian dari etika penulisan disertasi. Sebab, melibatkan orang yang masih hidup. Lebih-lebih pada era itu masih rentan akan timbulnya konflik.
Terlepas dari berbagai macam perdebatan soal nama, secara sistematis Geertz mengupas secara utuh kehidupan di Modjokuto. Buku “Religion of Java” mengurai sisi humanis, bagaimana masyarakat menerapkan agama sebagai pedoman hidup. Dari Modjokuto atau Pare inilah, istilah santri, priyayi dan abangan, sampai kini masih santer dalam perbincangan kalangan mahasiswa, cendekia ataupun pegiat kebudayaan. (Kholisul Fatikhin)