ADA kecenderungan, gairah masyarakat menekuni hobi kini meningkat sejak adanya pandemi virus corona. Kelonggaran waktu ketika menjalani physical distancing maupun Work from Home, dimanfaatkan untuk semakin mengasah kegemaran. Entah itu berkebun, berternak, berkesenian, hingga merawat benda antik; hobi digunakan untuk mengisi hari dengan kegiatan produktif.
Tren meningkatnya minat pada hobi juga menggejala di kalangan pecinta sepeda tua di Indonesia, termasuk di Kediri, Jawa Timur. Waktu yang senggang akibat pembatasan gerak sosial, membuat onthelist kini lebih fokus merawat kereta angin keluaran lawas itu. Di rumah masing-masing, mereka menjadi rutin membersihkan debu yang menempel di rangka logam agar terhindar dari korosi atau karat.
“Kegiatan membersihkan sepeda dilakukan setiap hari, digosok terus biar makin kinclong,” kata Muji Harjita, Ketua Komunitas Sepeda Tua Indonesia (KOSTI) Kediri, Senin, 8 Juni 2020.
Menurut pria yang akrab disapa Jito ini, aktivitas merawat sepeda tua kini menjadi yang utama. Mengingat, pagebluk corona telah membuat acara yang akan digelar Kosti Kediri terpaksa dibatalkan. Di antaranya, ngontel bersama di tingkat lokal, regional, hingga nasional. Salah satu Event yang akhirnya ditiadakan yaitu Ngonthel Bareng, dalam rangka Hari Jadi Kabupaten Kediri tahun 2020. Secara otomatis, kegiatan tersebut tidak dibolehkan sesuai imbauan pelarangan membentuk kerumunan massa.
Meski sederet acara tersebut dibatalkan, di balik itu ada sisi positif yang bisa dipetik. Selain kini dapat merawat sepeda setiap hari, masa pandemi corona mendorong para onthelist membangkitkan sepeda tuanya yang tak terurus. Rangka sepeda yang berdebu, dipenuhi sarang laba-laba, dan terbengkalai, kini diperbaiki agar dapat digowes kembali.
Tak hanya restorasi saja, onthelist juga menggunakan waktu luang untuk berburu onderdil yang menempel di body sepeda tua. Lokasi favorit berbelanja suku cadang yang biasa dituju salah satunya Pasar Loak Kaliombo Kota Kediri. Mulai dari lampu, rem, piringan, pedal, setir, sadel, bel, rantai, pelek, ban, hingga standar; dapat dijumpai di pasar yang buka dari pagi sampai sore itu.
“Walaupun tidak ada acara ngontel bareng, upaya untuk meramaikan hobi sepeda tua tetap jalan terus, bahkan semakin meningkat,” ujar Jito.

Mantan anggota Panwaslu Kabupaten Kediri itu kini mengkoleksi 7 buah sepeda antik dari berbagai jenis. Di antaranya, sepeda merk Gazelle serta Fongers seri BB dan HZ buatan Belanda, sepeda Fongers perempuan seri BD dan DD, serta sepeda buatan Jepang merk Mister. Ketujuh sepeda tua miliknya, kerap dipakai secara bergantian untuk sekadar gowes berkeliling kawasan Kediri, serta di acara Ngonthel Bareng bersama pecinta sepeda tua lainnya.
Komunitas Sepeda Tua Indonesia atau Kosti yang mengusung misi pelestarian sepeda tua sebagai aset budaya, berdiri pada tahun 2008 di Bogor. Sedangkan di Kediri, Kosti dibentuk pada Maret tahun 2009. Saat itu, H. Ahmad Basuki, kolektor sepeda tua asal Desa Blawe, Kecamatan Purwoasri, Kabupaten Kediri, terpilih sebagai Ketua pertama.
“Lebih dari sepuluh tahun komunitas berjalan, saat ini Kosti Kediri menaungi 75 paguyuban sepeda tua,” ujar Jito.
Jumlah anggotanya sekitar 2.500 orang, tersebar di wilayah Kabupaten maupun Kota Kediri. Mereka datang dari berbagai latar belakang pekerjaan. Antara lain TNI, Kepolisian, Aparatur Sipil Negara (ASN), Perangkat Desa, petani, pedagang, karyawan swasta, pengusaha, hingga montir bengkel sepeda, sepeda motor, serta mobil. Di luar itu, di kawasan Kediri masih banyak penggemar sepeda tua yang tidak terdaftar atau ikut paguyuban di bawah naungan KOSTI.
Menurut Jito, dari sisi sejarah, eksistensi sepeda tua tidak bisa lepas dari campur tangan Belanda. Di era kolonial, sepeda-sepeda produksi Belanda banyak yang masuk ke Indonesia, kemudian mempengaruhi budaya masyarakat. Sebagai buktinya, kata dalam bahasa Indonesia yaitu pit yang berarti sepeda, berasal dari bahasa Belanda: fiets.

Seperti halnya mobil pada masa sekarang, dulu sepeda menjadi penanda status sosial seseorang. Sepeda bermerek papan atas, seperti BSA, Gazelle, Bumber, Rudge, dan Raleigh, disimbolkan sebagai kendaraan kaum priyayi. Deretan sepeda tersebut identik dengan tunggangan orang kaya, golongan kekuasaan, dan masyarakat yang dekat bangsa Belanda.
Seiring waktu, penemuan teknologi di bidang transportasi menggeser masa emas sepeda. Hadirnya kendaraan bermotor, membuat sepeda mulai ditinggalkan. Para priyayi lalu mengalihkan pandangan ke alat angkut modern, seperti sepeda motor dan mobil. Alhasil, sepeda pancal tak lagi menjadi simbol status sosial. Meski begitu, sepeda tetap digemari bahkan kini makin akrab dengan kehidupan masyarakat dari berbagai kelas.
Dari fungsinya sebagai alat transportasi kemudian menjadi hobi, sepeda kini semakin digandrungi di tengah pandemi virus Covid-19. Baik itu sepeda tua maupun tipe modern, sama-sama digemari masyarakat di seluruh dunia. Hobi bersepeda yang bermanfaat bagi kesehatan fisik dan mental, telah menjadi budaya baru yang tumbuh di masa pagebluk corona. (Kholisul Fatikhin)