SITUASI pandemi covid -19 melemahkan nyaris semua sendi kehidupan, termasuk sisi kesehatan dan ekonomi. Adanya gerakan new normal membuat semua tatanan kehidupan berubah. Meski tergagap-gagap, mau tidak mau harus siap menghadapi perubahan disrupsi yang kini telah menjadi budaya baru.
Seperti hantu gentayangan di malam hari, virus corona hadir tanpa wujud dan menimbulkan rasa takut. Pemerintah pusat maupun daerah melalui Gugus Tugas Penanganan Covid-19 hinggi kini masih gencar mengimbau agar masyarakat jangan panik, mematuhi protokol kesehatan, dan selalu waspada.
Akan tetapi, maksud hati hendak waspada, ternyata yang muncul adalah curiga antara sesama atau ketakutan yang berlebihan. Perilaku itu dikenal dengan istilah paranoid. Pribadi paranoid dalam konteks ini berarti menganggap semua orang di sekitarnya adalah sumber penyakit, dapat menjangkiti, dan membawa virus membahayakan.
Dari kacamata psikologi, James N Butcher melalui bukunya berjudul Abnormal Psychology menyebutkan, seseorang yang mengalami paranoid dipenuhi keraguan yang tidak beralasan. Mereka dapat melihat makna negatif atau ancaman dari berbagai kejadian di sekitarnya. Diagnosis ini berbeda dari skizofrenia paranoid karena simptom-simptom lain skizofrenia, misalnya halusinasi, tidak terjadi.
Dengan rasa takut berlebihan, masyarakat menjadi lebih mudah menghakimi suatu penyakit. Misalnya, ketika bertemu orang sedang bersin atau menunjukkan gejala mirip corona lainnya. Padahal bisa saja orang tersebut hanya mengidap flu ringan atau penyakit lainnya.
Seperti diketahui, wabah covid-19 adalah virus baru. Upaya melawan penyebaran virus tersebut merupakan tanggung jawab bersama. Maka, wawasan apa saja terkait musuh bersama bernama corona ini perlu diketahui. Baik itu cara kerja penularan virus, maupun penanganan medis bagi korban. Dengan begitu, perasaan cemas, takut, paranoid, bahkan pro-kontra terkait corona tidak akan menyeruak.
Akhir-akhir ini, ada kejadian viral di Makasar tentang matinya seorang ibu yang menjadi rebutan tenaga medis dan keluarga. Pihak medis menguburkan jenazah dengan protokol covid-19, sedangkan keluarga berkeyakinan bahwa sang ibu meninggal bukan penyakit karena corona. Mereka bersikeras membawa pulang dengan mengurusnya untuk pemakaman dengan cara Islami. Keluarga pasien akhirnya menyerah, kemudian menimbulkan kemarahan dan caci maki yang tak terkendali dari netizen.
Peristiwa serupa juga terjadi di Surabaya. Pasien yang meninggal di Rumah Sakit Wiyung Surabaya, dianggap penguburannya dilakukan tanpa tata cara yang manusiawi. Kejadian itu menyedot perhatian publik, bagaimana pasien ini dikuburkan dengan cara tidak wajar, misalnya tanpa dibungkus dengan kain kafan, hanya dimasukkan dalam kantong plastik saja. Padahal, pasien ini diyakini tidak terkena atau terpapar covid-19. Setelah ditelusuri, ternyata peristiwa itu muncul akibat salah memahami informasi antara pihak keluarga dan rumah sakit.
Belajar dari kasus yang terjadi di Surabaya, kesadaran saling terbuka, memberi informasi yang jelas, dan mengedukasi terkait virus corona menjadi penting bagi semua warga negara. Baik itu pemerintah, tenaga medis, maupun masyarakat.
Selain tetap harus mematuhi protokol kesehatan seperti mengenakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak; satu hal yang perlu ditambah yaitu menguasai sedikit tentang pengetahuan medis. Wawasan yang luas akan berperan layaknya desinfektan yang membersihkan perasaan takut dan paranoid masyarakat di masa pandemi corona. (Singgih Sutoyo, Pemimpin Redaksi Majalah @cces, Keluarga Alumni Universitas Jember)