Malam itu saya kebagian “ronda” di atas Rainbow Warrior yang sedang menyusuri Laut Jawa. Salah satu tugas “night watch” adalah menemani nahkoda melihat lalu-lintas di cakrawala dan perairan sekitar kapal.
Saya sempatkan membaca isi log book pelayaran yang mencatat dengan rapi kondisi cuaca, angin, jarak pandang, dan hal-hal yang terindera oleh manusia. Sebab tentu saja rekaman digital juga dimiliki oleh kapal canggih buatan tahun 2011 ini.
Buku log seperti inilah yang akhirnya menguak apa yang terjadi pada kapal Titanic saat karam pada 15 April 1912 di utara laut Atlantik. Teori arus Labrador, arus dingin dari Arctic, yang menyebabkan fenomena fatamorgana –sehingga gunung es tak terlihat oleh awak kapal– dikuatkan dengan catatan kru kapal lain yang melintas di hari yang sama, yang tertuang di log book yang disimpan arsip pelayaran Jerman.
Butuh kedisiplinan untuk mengisi log book setiap pergantian shift 4 jam. Disiplin yang melampaui perasaan sekadar menjalankan tugas-tugas prosedural. Ini ihwal kesadaran bahwa suatu saat, bahkan seabad berikutnya, semua catatan yang saat ini tampak biasa saja, mungkin berguna bagi orang lain.
Kedisiplinan dan kesadaran pula yang membuat kapal ini punya integritas ketika berdakwah tentang lingkungan hidup di seluruh pelosok dunia. Sebelum mendakwahi orang, mereka berusaha mengamalkannya sendiri di dalam kapal.
Pertama dimulai dari “bahan bakar” utama yang menggunakan angin dan layar. Karena itu kecepatan rata-ratanya hanya 7-8 knot, setara 12 km/jam, alias tak lebih cepat dari orang naik sepeda. Tapi untuk menjalankan listrik untuk instrumen kapal, AC, pompa air, dan lain sebagainya, mereka tetap membakar 70 liter setiap jam. Tidak benar-benar “hijau”, tapi tetap lebih ramah lingkungan dari rata-rata kapal mana pun di muka bumi ini.
Lalu ada kedisiplinan ihwal konsumsi. Tak ada makanan yang terbuang. Selama masih bisa dikonsumsi, meski telah berumur sepekan, koki kapal tetap menyajikannya. Ini mengingatkan saya pada “hukum rimba” orang Malind di Merauke yang melarang menyia-nyiakan sisa sagu yang telah ditebang atau ikan yang telah ditangkap. Ini kategori dosa besar bagi orang Malind. Juga anjuran dalam Islam bahwa piring harus bersih, tanpa menyisakan sebutir nasi pun.
Jika ia terpaksa menjadi sampah, maka ada lima kategori sampah di kapal ini: organik atau sampah dapur, sampah kertas, sampah karton, kaleng minuman, dan sampah umum yang biasanya hanya kotoran seperti debu atau serat kain.
Bagaimana dengan plastik? Plastik tak boleh naik ke atas kapal. Meski dalam ukuran yang kecil seperti bungkus bumbu mi instan, dia akan dikategorikan sebagai sampah umum. Tak ada botol atau gelas plastik “Aqua” dan sejenisnya. Semua awak kapal minum dari termos atau gelas.
Sampah dari 30 awak kapal itu dibawa sepanjang pelayaran, sampai menemukan pelabuhan berikutnya, yang dapat mengolah atau mendaur ulangnya. Rainbow membawa sampahnya sejak dari Filipina ke Bali, hanya karena di pelabuhan Manokwari tak ada lembaga yang dapat mengolah dan medaur ulang sampah mereka.
Sampah itu tidak membusuk karena sebagian disimpan di ruangan yang lebih dingin dari lemari besi tempat menyimpan naskah Proklamasi di gedung Arsip Nasional RI. Sementara di kapal salah satu kapal Pelni yang kami tumpangi dari Merauke ke Morotai, sampah kapal berpenumpang 1.200 orang itu dibuang begitu saja ke lautan. Ekspedisi Indonesia Biru memiliki rekaman videonya.
Tak ada galonan air kemasan produksi Danone atau Coca-Cola yang naik ke atas kapal. Mereka menyuling (destilasi) air laut untuk mandi, cuci, dan minum. Tentu rasanya sedikit payau. Tapi jika semua ingin normal, memang sebaiknya tidak usah berlayar.
Air limbah toilet didaur ulang. Tinja dipisahkan dan dikeringkan. Lalu ditaburi bakteri pengurai. Airnya dipakai lagi untuk menyiram toilet. Sisa ampas tinja yang telah kering dan bebas bakteri E Coli, misalnya, dibuang ke laut. Bagaimana pun ia tetaplah bahan organik.
Selama “mondok” di atas Rainbow, saya belajar menghayati bagaimana setiap gerakan dan aktivitas kita memiliki konsekuensi terhadap lingkungan, bahkan hingga hal sekecil-kecilnya seperti mempertimbangkan konsumsi air saat keramas, dan membersihkan rontokan rambut di saluran pembuangan air setelahnya. Hemat air karena destilasi membutuhkan BBM, sementara rontokan rambut yang dibiarkan masuk saluran air, punya potensi menyumbat dan mengganggu proses daur ulang.
Ada perasaan bersalah (berdosa), jika mengabaikan hal-hal ini. Meski bagi sebagian orang ini sudah menjadi gaya hidup. Perasaan dosa ini tak lagi memakai ukuran-ukuran agama, namun juga tata laku hidup sehari-hari karena didorong kesadaran akan konsekuensinya kepada makhluk lain dan lingkungan.
Jika rata-rata plastik hanya dipakai 15 menit, namun untuk mengurainya alam perlu ratusan tahun, maka boros memakai plastik adalah perasaan berdosa. Jika 90 persen plastik di lautan saat ini berkategori micro-plastik –yang telah masuk ke dalam sistem pencernaan ikan yang kita konsumsi, maka membuang bungkus bumbu “Pop Mie” ke laut adalah dosa. Sebab jika ikan itu dikonsumsi orang lain, dia dapat menimbulkan efek karsinogen yang memicu kanker, misalnya.
Dosa terjelaskan dalam runutan logis akan konsekuensi yang bersumber dari pengetahuan. Bukan semata dogma, apalagi prasangka. Konsep dosa yang bukan lagi berupa jalan pintas yang penuh penghakiman dan penyederhanaan, seperti mengonsumsi Starbucks bisa masuk neraka, karena pemilik Starbucks mendukung LGBT, misalnya.

Semua kesadaran ini butuh kedisiplinan. Termasuk urusan pemeliharaan kapal. Berlayar pelan berarti ada banyak waktu bagi awak kapal. Itulah yang dimanfaatkan untuk melakukan pemeliharaan secara konstan.
Semua orang, termasuk tamu, harus bangun jam 7.30, sarapan, lalu kerja bakti bersih-bersih. Kru asli punya tugas sendiri seperti mengolah sampah, pemeliharaan mesin, melumasi rakit penyelamat, hingga mengecat semua besi kapal. Tak heran jika hampir tak terlihat karat sedikitpun di sekujur kapal.
Ada jurnalis CNN Indonesia yang bersama saya mondok di Rainbow Warrior saat itu. Menurutnya semua kedisiplinan yang ia alami di kapal berbendera Belanda ini, tidak ia alami di bahkan di kapal perang yang pernah ia ikuti. Dari sampah hingga urusan pemeliharaan dan kebersihan.
Lucunya, kita kerap menelan begitu saja anggapan bahwa militer lebih disiplin dari sipil. Sampai-sampai program bela negara disebut-sebut sebagai salah satu tujuan mendisiplinkan kaum sipil. Lalu ujungnya negara sebaiknya diserahkan kepada mereka yang paling berdisiplin.
Padahal sejatinya semua institusi atau profesi punya standar disiplinnya sendiri. Punya standar presisinya sendiri. Tanpa disiplin dan presisi, dokter bedah syaraf tak akan mampu bermain hingga satuan nol koma milimeter dalam sebuah operasi. Sama dengan kami para videografer tak akan dapat timelapse sunrise jika malas bangun pagi dan tak jeli mengatur bukaan kamera saat transisi cahaya. Sama dengan jika tentara tak disiplin membersihkan senapan, suatu saat dia bisa celaka jika senapannya macet.
Bahwa markas tentara di seluruh dunia kerap lebih bersih dan rapi bahkan dibanding rumah sakit, itu juga faktor karena jika tidak demikian, benda-benda asing seperti bom, ranjau, jebakan “booby-trap” atau kamera mata-mata milik musuh bisa disembunyikan atau disamarkan dalam tumpukan sampah atau barang-barang yang berserak. Maka taman harus bersih, rumput harus rajin dipotong, serba tertib. Sekonteksual itu. Sama steril dan rapinya dengan urut-urutan pisau bedah atau tang gigi dokter yang sedang mengoperasi. Atau sama dengan bengkel-bengkel yang meletakkan obeng sesuai urutan ukurannya.
Tak ada yang berhak mengklaim lebih berdisiplin dari yang lain. Lalu konsep “mendisiplinkan kaum sipil” seperti dalam program Bela Negara itu akhirnya diuji di geladak helipad Rainbow Warrior ketika kami memutar “Asimetris” di mana salah satu adegannya merekam alumni Bela Negara Group 3 Kopassus yang “sangat berdisipilin” menjaga lahan Grup Sinar Mas di Riau, dan berusaha menghalau rombongan Kepala Badan Restorasi Gambut yang hendak melakukan sidak.
Itulah ajaran-ajaran pesantren kilat terapung dari beberapa pesentren kilat lain yang pernah saya ikuti. Ajaran tentang dosa dan disiplin. Anggap saja ini bagian ketiga dan mungkin sekaligus terakhir dari status “Cadar dan Konde” yang menggantung sampai episode dua kemarin. (Dandhy Dwi Laksono)