KESENIAN dan kebudayaan secara umum mempunyai peran strategis, termasuk dalam mengatasi krisis sosial ekologi di berbagai daerah. Sebagaimana yang dilakukan empat seniman di beberapa lokasi di Indoneisia, yaitu Cokorda Sawitri di Bali, Slamet Diharjo di Banyuwangi, Jawa Timur, Mila Rosinta di Yogyakarta, dan Iqbal H Saputra di Belitung, Provinsi Bangka Belitung. Mereka menggunakan budaya dan kesenian sebagai tenaga utama untuk melakukan perubahan, untuk mengatasi problematika di wilayah masing-masing.
Cerita tentang kegiatan empat seniman tersebut mereka utarakan dalam seminar daring pada Senin, 30 November 2020, dengan tema “Mengatasi Krisis Sosial Ekologi Melalui Pendekatan Seni Budaya dan Inklusi Sosial”. Webinar kedua dari Serial CangKir KoPPI (Berbincang dan Berpikir Kreatif Kelompok Perempuan dan Pemuda Inspiratif) ini diselenggarakan oleh The Samdhana Institute.
“Menghadirkan empat seniman inspiratif ini menjadi penting mengingat krisis sosial ekologi di Indonesia sampai saat ini masih terus berlanjut,” kata Wakil Direktur Eksekutif The Samdhana Institute, Martua T Sirait.
Dalam diskusi yang dipandu oleh Bunga Manggiasih dari Koalisi Seni Indonesia ini, Cokorda Sawitri atau Cok Sawitri berbagi kisah tentang penyelamatan lingkungan melalui kesenian di Bali, salah satunya menyelamatkan air.

“Orang lupa, salah satu hal yang membuat Bali akan collapse itu bukan pariwisata seperti sekarang, yang bikin collapse itu nanti air,” kata pendiri Forum Perempuan Mitra Kasih Bali (1997) dan Kelompok Tulus Ngayah Bali (1989) tersebut.
Sayang, menurut Cok, di Bali orang tidak pernah membicarakan air. Ketika terjadi banjir seperti di Denpasar, kambing hitamnya justru sampah. Padahal program pengelolaan sampah sudah lama dilakukan pemerintah di sana.
“Sumur resapan di pantai itu rasanya sudah payau, pemerintah tidak mau riil melihat, kita punya cadangan air tanah hanya satu di Jembrana, banyak persoalan air,” ujarnya.
Ia melanjutkan, rumah tangga di Kota Denpasar, Bali, pada 2010-an sudah memakai air kelas tiga atau kelas C dari sungai. Hal itu menjadi lucu karena air jenis itu yang dipakai masyarakat.
Menurut Cok, krisis sosial ekologi sangat besar mempengaruhi caranya berkesenian dari dulu. Sebagai seniman ia memegang teguh sikap independen dan seni teaternya adalah melawan. Karena itu ia menyadari tidak akan mungkin mendapatkan tepuk tangan dari sikap kritisnya terkait kebijakan sosial ekologi.
“Jika kita menjadi seniman yang kritis, maka kita siap melakukannya ‘di jalan sunyi’ yang jauh dari tepuk tangan meriah,” katanya.
Sementara Slamet Diharjo, seniman tari di Banyuwangi, Jawa Timur yang memilih menjadikan lahan sawah warisan dari ibunya menjadi sanggar seni, “Sawah Art Space”. Tempat itu digunakan lulusan Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya tersebut sebagai ruang belajar seni budaya bagi anak-anak dan pemuda kampung.
Pria yang akrab dipanggil Syamsul ini tumbuh di Desa Kemiren yang ditetapkan oleh Gubenur Jawa Timur sebagai Desa Wisata Adat Osing pada 1995. Desa tersebut dihuni masyarakat adat Banyuwangi, suku Osing.

Sebelum membuka “Sawah Art Space” mulanya ia terinspirasi dari sanggar lain di Banyuwangi, yaitu mengajar tari kepada anak-anak dengan membayar pendaftaran.
“Misalnya per anak itu Rp5 ribu, tapi di desa saya itu nggak bisa, nggak tercapai sampai Rp100 ribu, akhirnya saya sadar apa arti uang itu bagi saya,” katanya.
Akhirnya Syamsul memilih mendirikan Sawah Art Space yang semata-mata untuk membentuk komunitas seni dan mengajar anak-anak di desanya berkesenian dengan gratis. Ia beruntung ada sekitar 30 seniman di Banyuwangi yang bersedia ikut dengannya melakukan kesenian tanpa pamrih.
Mereka terlibat dalam kegiatan di Sawah Art Space dan mengajar generasi muda seni tradisi.
“Lambat laun pada 2018 saya mendirikan Sawah Art Space dan akhirnya bermanfaat lewat ‘support’ dari teman-teman,” katanya.
Cerita lain muncul dari Mila Rosinta Totoatmojo. Penari profesional pemilik Mila Art Dance di Yogyakarta sejak 2012 ini pada 2015 ia membuka Mila Art Dance School. Kini sedikitnya tiga ribu siswa dari beragam genre tari pernah ikut belajar di sana.
Menariknya, Mila membuka workshop khusus tari inklusi untuk kaum difabel. Itu pekerjaan tidak mudah yang membutuhkan persiapan matang.
“Saya meyakini siapa pun berhak untuk menari, siapa pun bisa menari, dan siapa pun bisa mengejar mimpinya,” kata lulusan Pascasarjana Penciptaan Seni Tari ISI Yogyakarta tersebut.
Mila mendirikan sekolah tari juga karena melihat fenomena anak-anak milenial saat ini sedikit jauh dari tradisinya, khususnya tari-tari tradisi di Yogyakarta. Dengan menyasar anak muda daerah perkotaan, ia berhasil membuat sebuah formula untuk mendekatkan mereka dengan seni tradisi.
Ia menyadari anak muda yang sekarang lebih gandrung budaya K-Pop, balet, atau Yoga dan itu tidak bisa dipaksa. Karena itu ia membuka kelas berbagai genre dan membiarkan anak-anak muda masuk ke kelas-kelas yang ia sukai dulu, sebelum diajak mengenal tari tradisi.
“Mereka anggap tari tradisi itu membosankan, tidak gaul, jadi saya punya cara tersendiri dengan masuk ke kelas satu per satu, ini loh ada tari kreasi dan ada tari tradisi yang harus kita lestarikan,” katanya.
Mila mendorong anak muda mempelajari tari tradisi karena pada dasarnya tari tradisi di Indonesia adalah spiritual dan proses pencarian identitas diri bisa dari tari.
“Saya katakan pada anak didik saya, tradisi kita keren, apa yang kita punya itu malah dipelajari di luar negeri, di Amerika banyak sekali komunitas tari bali, tari tradisi lain, apa mau nanti kita belajar dari mereka, dari situ saya bangun kesadarannya,” ujarnya.
Berbeda dengan Mila yang bergerak di kawasan perkotaan, dalam webinar juga menghadirkan cerita dari pelosok di wilayah Belitung. Di sana terdapat Yayasan Pusat Studi Kebudayaan Belitung yang didirikan oleh putra daerah bernama Iqbal H Saputra. Melalui yayasan tersebut, Iqbal berupaya menyatukan seniman lokal dan mengajar anak muda belajar sejarah, sosial, politik, ekonomi dan budaya melalui kegiatan seni-budaya.
“Yang kami perjuangkan adalah kesadaran berpikir,” kata lulusan Pascasarjana di salah satu universitas di Yogya itu.

Menurut Iqbal, nama Belitung menjadi buah bibir nasional dan internasional berkat novel Andrea Hirata, “Laskar Pelangi” pada 2005 yang kemudian difilmkan sutradara Riri Riza pada 2008. Ini berlanjut setelah Jokowi menjadikan Belitung sebagai salah satu dari 10 destinasi Bali baru Indonesia.
Di Belitung ia melihat kemeriahan dan kemegahan atau dampak dari partiwisata itu tidak benar-benar menyentuh manusia sebagai subjek.
“Terutama di daerah saya di Kolong Sampan, teman-teman sejawat saya tidak berani menjadi subjek, mereka menjadi objek dari kepariwisataan, bahkan mereka tidak ada dalam konstelansi kepariwisataan, mereka ada di luar itu,” ujar ketua Dewan Kesenian Belitung ini.
Bersama kawan-kawannya, Iqbal membuat Ekowisata Kolong Sampan di sebuah lahan hutan yang terlantar. Tempat itu dijadikan semacam laboratorium belajar seni-budaya, politik, dan lainnya. Namun kemudian akibat dampak pariwisata, lahan tersebut menjadi perebutan banyak pihak.
Ia bersama kawan-kawannya memperjuangkan mempertahankan agar lahan tersebut bisa menjadi hak milik masyarakat. Kini lokasi Ekowisata Kolong Sampan menjadi tempat anak-anak-anak muda belajar tari, dan aktivitas seni budaya lainnya.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemdikbud, Hilmar Farid, dalam sambutannya mengatakan pada masa sekarang, praktik-praktik yang baik di bidang kesenian dan kebudayaan secara umum, justru menjadi andalan dalam menghadapi krisis ekologi.
“Upaya ini sudah seharusnya menjadi ‘mainstream’ atau tenaga utama untuk mengatasi krisis ekologi,” katanya.
Karena itu, kreativitas harus terus dibangun dan diperluas. Terutama untuk mendapatkan cara-cara cerdas bagi pemulihan krisis sosial dan lingkungan yang akan terus dihadapi masyarakat luas, salah satunya pandemi Covid-19. (Naim Ali)
Discussion about this post