Malam belum terlalu larut, waktu masih menunjukkan pukul sebelas lebih. Blok paving jalan kampung itu masih basah dari sisa hujan sore hari. Dinginnya malam tak menyurutkan niat dua orang pemuda untuk bergerilya mencari tembok-tembok tak terawat di gang kampung wilayah mereka kemarin malam, Minggu 9 April 2016.
Mereka berdua dengan kegelisahannya atas apa yang telah terjadi pada situasi saat ini mencari media untuk mengungkapkan apa yang menjadi kegelisahan mereka. Kegelisahan tentang tergerusnya budaya dan kearifan lokal, kegelisahan akan maraknya vandalisme di jalanan dan kampung serta kegelisahan akan bagaimana membuat sebuah kampung tampak lebih menarik dan artistik. Mereka bergerilya secara militan untuk sebuah gerakan yang tidak dipikirkan kebanyakan orang, gerakan melukis dinding atau biasa disebut dengan mural. Adalah Siswanto atau biasa dipanggil Sis Kencik dan Dodoth sosok pemuda yang menginisiasi gerakan muralisasi di kampung mereka yang berada di daerah Banjaran, tepatnya berada di Jalan Pahlawan Kusuma Bangsa Gang 1 atau Gang Bendon 1 RT.01 RW.02 Kelurahan Banjaran, Kota Kediri.
Mural adalah cara menggambar pada dinding tembok atau permukaan luas yang bersifat permanen. Maka dengan definisi diatas bahwa mural tidak bisa dilepaskan dari bangunan dalam hal ini adalah dinding. Berbeda dengan grafitti yang cenderung mengedepankan pada isi tulisan dan dibuat dengan spray paint atau cat semprot, mural lebih bersifat bebas dalam hal penggunaan media cat, baik cat tembok ataupun cat kayu atau bahkan dapat pula menggunakan pigmen warna, kapur dan alat tulis lain yang menghasilkan gambar. Mural lebih berwujud lukisan daripada sekedar tulisan.
Menurut mereka, gerakan mural ini adalah murni dari hati dan inisiatif mereka berdua demi “nguri-uri” budaya dan sebagai ungkapan pemberontakan tentang apa yang mereka gelisahkan. Dengan biaya sendiri dan juga hibah cat dari beberapa warga yang masih mau peduli tentang seni dan budaya, mereka berdua mulai membersihkan tembok-tembok yang kurang terawat. “Tak mudah memang mengawali suatu gerakan, harus dari diri sendiri dan wilayah sendiri dulu, apalagi yang berkaitan dengan kegiatan yang kurang dipahami orang lain,” ungkap Mas Sis Kencik. Sama halnya dengan mas Sis, Dodoth juga berpendapat, ada baiknya bahwa Budaya yang dulu pernah ada sebaiknya terdokumentasi dalam media lain yang lebih menarik, selain itu menurutnya bahwa Mural adalah sebuah seni jalanan yang mampu merepresentasikan ketidakpuasan tentang apa yang terjadi saat ini. Mereka berdua berpendapat bahwa dengan adanya gerakan militansi mural ini akan memberikan edukasi secara tidak langsung bagi generasi mendatang.
Tentang tembok yang mau digambar, mereka tidak mau gegabah. Walaupun banyak tembok kurang terawat di kampung namun dalam pengerjaannya mereka tetap memiliki etika yaitu meminta ijin lisan dan tertulis dari empunya tembok atau dinding. Beberapa tembok sudah mendapatkan ijin tinggal waktu pelaksanaanya, karena untuk pelaksanaannya masih terkendala sarana dan prasarana yang mereka butuhkan. “ Maklum semua adalah atas inisiatif sendiri tanpa sponsorship, karena kami tidak mau membebani warga, diberi space tembok warga saja kami sudah sangat terima kasih,” kata Dodoth.
Lebih lanjut Sis Kencik juga menambahkan, bahwa “Kami tidak mau ditunggangi oleh kepentingan tertentu, ini murni dari inisiatif kami yang masih mau peduli dengan kampung kami”. Mereka juga tidak menuntut bayaran dalam pengerjaan. Ini kami lakukan secara free tanpa embel-embel apapun, ujar Mas Kencik. Namun apabila ada warga ataupun orang lain yang mau membantu dalam gerakan ini mereka tidak menampiknya, hanya saja perlu diketahui bahwa kami tidak akan menerima bantuan yang berupa uang, kami hanya mau dibantu dalam wujud barang yang kami perlukan seperti cat, kuas ataupun barang penunjang lain, ujar Dodoth.
Mural sebenarnya sudah ada sejak jaman prasejarah, seperti yang terdapat pada gua di Lasaux, Perancis. Hanya saja pada waktu itu mural yang dibuat menggunakan pigmen dari tumbuh-tumbuhan dan darah binatang. Isi dari mural tersebut juga menggambarkan tentang kegiatan berburu dan sebagai media informasi kala itu. Seorang perupa ternama Pablo Picasso juga pernah membuat mural untuk memperingati pengeboman tentara Jerman di desa kecil dengan mayoritas masyarakat Spanyol yang berjudul Guernica y Luno tahun 1937. Di Irlandia Utara yang merupakan daerah koflik, mural sangat mudah ditemui di semua dinding kota, hal ini sebagai wujud ungkapan ketidakpuasan dan juga menjadi sarana propaganda politik bagi rakyat Irlandia Utara dalam melawan Pemerintahan Inggris.
Di masa modern mural juga berkembang di Negara Brazil dimana banyak dinding-dinding kota dipenuhi oleh lukisan-lukisan dinding yang menarik, sehingga mampu menggaet wisatawan asing. Di Indonesia sendiri seni mural juga berkembang semasa Agresi Milter II sebagai sarana propaganda kemerdekaan.
Pada perkembangannya, mural telah menjadi bagian seni publik yang melibatkan komunikasi dua arah, Seniman mural melakukan komunikasi secara visual kepada publik tentang apa yang dicurahkan, dan publik akan mampu berinteraksi langsung kepada senimannya sehingga dalam mural komunikasi yang terjalin bukan hanya komunikasi secara visual namun mural juga mampu mendekatkan diri sebagai seni yang tidak hanya berinteraksi secara visual namun juga verbal.
Siapa sangka bahwa dari lorong-lorong kampung di tengah kota ini ada sebuah gerakan yang akan menjadi virus kelak dikemudian hari. Virus yang akan menjangkiti para perupa di kota ini yang mungkin masih skeptis menatap kedepan dengan kondisi saat ini. Inilah militansi mereka dalam sebuah gerakan nyata demi menggugah kegairahan dalam berkesenian di kampung mereka terlebih di kota tempat mereka tinggal. Kediri memang bukan Brazil yang tersohor dengan muralnya, namun dari lorong kampung inilah mereka berharap Kota Kediri iso tangi, setelah sekian lama terlelap dalam tidur panjangnya. (Widodo Putra)