SIAPA yang menyangka jika karya sastra besar dunia ternyata lahir dari kedai-kedai kopi. Seperti kisah JK Rowling, pengarang novel Harry Potter yang menulis di The Elephant House, Edinburgh. Ernest Hemingway yang melahirkan buku Paris Memoir di cafe La Closerie des Lilas, atau Jean-Paul Sartre ketika menulis buku Being and Nothingness di Café de Flore and Les Deux Magots, Paris.
“Kami menyediakan tempat nyaman yang barangkali bisa menginspirasi para kreator untuk berkarya,” ujar Abdul Karim Hubaib, owner cafe Gerdu Laot, Senin, 1 Februari 2021.
Lelaki yang akrab disapa Ubeb menambahkan, kedai kopi yang berada di Jalan KH Agus Salim No. 56a Kelurahan Bandar Kidul, Kota Kediri ini dibuka pada awal tahun 2020. Nama Gerdu Laot yang dipilih menjadi brand ini diambil dari bahasa Jawa. Gerdu berarti tempat berkumpul, sedangkan Laot artinya istirahat setelah bekerja.
Filosofi itu selaras dengan sejarah awal kemunculan cafe pada tahun 1555 di Konstantinopel, Romawi Timur. Di kawasan yang kini bernama Istanbul, Turki itu berdirinya kedai kopi digunakan sebagai tempat melepas lelah masyarakat setelah seharian bekerja. Sekitar seratus tahun kemudian, kedai-kedai kopi menjadi tempat favorit bagi para kaum terpelajar melawan sistem imperialisme. Misalnya, tempat perbincangan politik di Inggris pada 1665 dan markas kaum revolusioner pada periode awal kemerdekaan Amerika Serikat.
Memasuki era modern, keberadaan cafe kini semakin menjamur dan menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat urban. Ubeb menyadari betul jika menyediakan kopi berkualitas saja tidak cukup. Hal yang lebih penting adalah suasana nyaman bagi pengunjung. Maka, pada konstruksi bangunan cafe Gerdu Laot yang bernuansa kubisme itu, dia merancang desain interior dengan konsep kontemporer.
“Proses penataan interior saya kerjakan sendiri, kurang lebih selama setahun,” kata pria yang pernah menjadi santri KH Maimoen Zubair itu.
Menurut Ubeb, sejumlah printilan yang menempel di sudut ruangan berasal dari barang tak terpakai. Misalnya, botol kaca, bekas perahu nelayan, hingga kayu dari sisa pohon roboh di dekat rumahnya. Berbagai benda itu dipadukan dengan hiasan dinding handcraft, tanaman tropis, sofa, furnitur kayu, dan kursi rotan.

Dalam dunia arsitektur, upaya penataan interior itu disebut dengan eklektisme. Corak ini merupakan gabungan dari beberapa gaya desain dari beberapa periode waktu. Gaya klasik, modern, kontemporer, dan tradisional, menyatu dalam satu ruangan.
Sedangkan dinding ruangan Gerdu Laot yang didominasi warna putih itu sarat dengan nuansa Skandinavia. Warna-warna netral dengan latar belakang kosong membuat siapapun yang memilih gaya ini semakin leluasa menorehkan sentuhan artistik. Apapun komposisi yang ditempel entah itu macrame, benda vintage, poster, maupun mural, akan terlihat sedap dipandang.
“Lewat desain simpel, minimalis, dan nampak rapi, secara psikologi dapat memberikan ketenangan ketika menikmati kopi sembari berdiskusi,” kata Ubeb.
Konsep yang disuguhkan Gerdu Laot sepintas mirip dengan Bakoel Koffie di Cikini, Jakarta. Penataan tempat duduk bukan seperti warung dengan bangku berjejer, akan tetapi dibuat seperti ruang tamu. Suasana yang terasa seperti di rumah sendiri, sehingga sangat cocok untuk menggelar diskusi atau hanya sekadar ngobrol santai.
Secara umum, tempat ini representatif bagi orang-orang dengan berbagai latar belakang. Mulai dari seniman, penulis, politikus, pebisnis, guru, pelajar, mahasiswa, bahkan jurnalis, bisa memanfaatkan Gerdu Laot sebagai tempat meriung sambil berbagi ide.

Ubeb melanjutkan, konsep ruangan yang menghadirkan kenyamanan itu juga diimbangi dengan seduhan kopi dengan berbagai varian. Mulai dari espresso, latte, americano, dan beragam jenis minuman serta kudapan lainnya, dikerjakan oleh Fajar dan Yusuf.
“Saya di Gerdu Laot sedang menjalani proses magang,” ujar Yusuf.
Dia menambahkan, proses itu akan menjadi batu loncatan memperdalam wawasan tentang teknik meracik kopi. Rencananya, dalam waktu dekat Fajar akan belajar di sebuah pusat pengolahan kopi di Jember. Sedangkan Yusuf akan menempuh sertifikasi pengaduk kopi internasional di Jakarta.
Sejauh ini, beberapa entitas sudah menggunakan Gerdu Laot sebagai tempat berdiskusi dan berkarya. Salah satunya Igmo, band asal Kediri beraliran rock klasik yang menggelar hearing session pada 23 Januari 2021.
Selain itu ada pula Binar Biru, komunitas yang menggeluti dunia sinematografi. Dalam waktu dekat mereka akan segera meluncurkan karya berupa web series. Berbagai tahapan membuat film seperti pematangan naskah, reading, membuat storyboard, hingga latihan adegan, memanfaatkan ruangan Gerdu Laot.
Satu lagi, jika suatu saat singgah ke kedai kopi bercorak ekletik ini, jangan pernah bertanya password Wi-Fi. Fasilitas internet memang sengaja tidak disediakan. Agar siapa saja yang berkunjung bisa menikmati esensi ngopi, tanpa terganggu urusan koneksi. Namun, patut ditunggu apakah Gerdu Laot dapat mempertahankan konsep konvensional itu, atau akhirnya bergeser mengikuti pola-pola cafe seperti pada umumnya. (Kholisul Fatikhin)
Discussion about this post