Secara geografis kawasan Kediri dibelah oleh aliran Sungai Brantas. Mengalir dari Gunung Arjuna, alirannya mencapai 320 kilometer dan mempengaruhi kehidupan warga Kota dan Kabupaten Kediri. Aktivitas masyarakat tak bisa lepas dari keberadaan sungai terpanjang kedua di pulau Jawa itu. Keberadaan akses penyeberangan menjadi faktor penting untuk menunjang denyut kegiatan masyarakat di semua sektor.
Di kawasan Kota dan Kabupaten Kediri, ada tujuh jembatan penghubung wilayah barat dan timur yang tersebar di beberapa titik. Satu di antaranya yang paling populer yaitu Jembatan Lama. Dibangun tahun 1869 pada masa kolonial Belanda, jembatan itu masih kokoh berdiri dan masih beroperasi hingga kini.
Selain itu, di daerah Kediri paling utara, ada Jembatan Papar yang menghubungkan wilayah Papar, Kabupaten Kediri dengan Ngronggot, Kabupaten Nganjuk. Kemudian Jembatan Semampir yang menghubungkan daerah Mojoroto dan Jong Biru. Lalu Jembatan Baru menghubungkan wilayah Bandar dan Kampung Dalem.
Ada juga jembatan yang terletak di sebelah Pabrik Gula Mrican, menghubungkan Mrican dan Jong Biru. Sayangnya, jembatan yang didirikan pada masa kolonial itu putus pada tahun 2017. Nah, yang terbaru adalah jembatan Banggle yang menghubungkan Kecamatan Mojo dan Kecamatan Ngadiluwih, Kabupaten Kediri. Selesai dibangun pada awal 2018, jembatan berkonstruksi baja itu akan segera diresmikan.
Jauh sebelum dibangun jembatan penghubung kawasan brat dan timur Sungai Brantas, sejak lama masyarakat menggunakan jasa perahu tambangan. Ini semacam kapal kecil yang ditarik secara manual menggunakan tali baja. Di sepanjang DAS (daerah aliran sungai) Brantas Kediri, setidaknya ada 500 pengelola tambangan. Setiap hari mereka mengangkut manusia, barang, sepeda motor, bahkan mobil untuk menyeberang.
Sama pentingnya seperti jembatan, masyarakat banyak bergantung pada keberadaan perahu tambangan. Entah untuk tujuan keagamaan, perdagangan, pendidikan, atau silaturahmi. Salah satunya bisa dijumpai di Desa Mayan, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri, yang populer dengan sebutan “Tambangan Mayan”.
Salah seorang pengelola jasa tambangan adalah Muammar. Lelaki berumur 25 tahun itu setidaknya sudah lima tahun mengelola perahu. Bersama beberapa kawan dan kerabatnya, secara bergantian melayani penyeberangan banyak kalangan. Mulai para pelajar, mahasiswa, santri, pegawai, petani, dan pedagang. Perahu tambang yang dioperasikan Muam, menghubungkan Kecamatan Mojo dan Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri. Mereka beroperasi 24 jam dan terbagi dalam dua shift, siang dan malam.
“Pembagian shift ditentukan berdasarkan hitungan Jawa, yaitu pahing, pon, wage, legi, dan kliwon,” kata Muam, diatas kapal bergeladak kayu, Senin, 9 April 2018.
Dalam sehari, rata-rata lebih dari seratus orang yang menggunakan jasa perahu tambang yang dikelola Muam. Untuk sekali menyeberang harga yang dipatok berkisar antara Rp. 1000 – Rp. 2000,-. Namun ada pula yang membayar lebih dari nilai yang ditentukan.
Pengoperasian gerak perahu dibedakan menurut kondisi cuaca. Pada musim penghujan, bila air sungai cenderung tinggi, perahu bergerak secara normal. Namun pada musim kemarau, saat air sungai agak surut, perahu diparkir tepat di tengah sungai. Posisi perahu hanya menjadi shelter penghubung titian (sesek) bambu yang dibangun menyerupai jembatan penyeberangan.
Muhammad Fahrishad, seorang pengelola tambang yang lain menjelaskan bagaimana kapal dioperasikan. Menurut dia, semua harus bisa menjadi seperti nahkoda. Tugasnya, mengatur keseimbangan, presisi, dan haluan kapal. Ada juga dalam tim tersebut yang bertugas seperti kondektur bis, yaitu menarik ongkos penumpang.
Berdirinya jembatan penghubung antara Kecamatan Mojo dan Kecamatan Ngadiluwih sempat membuat Fahrishad cemas. Ia khawatir tambangan yang menjadi penopang ekonomi keluarganya sepi. Namun, hingga sekarang, meskipun jembatan Banggle sudah dibuka untuk uji coba, tidak terlalu berpengaruh.
“Kebanyakan orang sudah terbiasa menggunakan perahu kami dan enggan untuk menuju jembatan yang jaraknya juga relatif jauh,” kata Fahrishad kepada kediripedia.com.
Dia percaya bahwa keberadaan jembatan yang ada di sepanjang aliran Sungai Brantas sangat bermanfaat untuk masyarakat. Namun, karena kebiasaan menyeberang dengan perahu tambangan sudah berlangsung turun temurun, masih ada sebagian masyarakat yang tidak memilih jembatan sebagai akses menyeberang. (Kholisul Fatikhin)