Diskusi yang bermakna lebih sering menggoreskan sesuatu pada ingatan. Ia meninggalkan bekas yang tak segera lenyap. Apalagi topik diskusi itu bisa dinikmati langsung oleh audiens dalam bentuk makanan khas Kediri. Seperti yang berlangsung dalam acara Rerasan, Ngobrol Bareng Warisan Kuliner Kediri sore itu, Minggu 18 September 2016.
Forum obrolan Rerasan yang diadakan Taman Baca Mahanani di kediaman Liliek Sundoko menawarkan keluasan cara pandang itu. Berlokasi di Jalan Tosaren 2 nomor 58 Kota Kediri, diskusi itu dihadiri para pelaku kuliner, komunitas, budayawan dan umum. Dari sajian makanan khas Kediri kita diajak bertamasya untuk membicarakan budaya dan masyarakat.
Berbagai suguhan makanan dalam pincuk kecil dan minuman hangat Wedang Awe-awe sudah tersedia di tengah ruang. Bermacam makanan ringan yang disajkan memang sengaja dihadirkan agar audiens bisa mencicipi langsung topik yang sedang diobrolkan. Sebagai pembuka acara, Sanggar Seni kreativitas Rakyat (SASTRA) Pare melantunkan tiga buah lagu. Kemudian Messy Suryaningrum memberikan pengantar selaku tuan rumah. Setelahnya, Kekudangan dalam beberapa bait dibacakan oleh Pradnya Paramita.
Makanan, apalagi jika yang kita bicarakan adalah makanan khas, urusannya menjadi tak sesederhana memenuhi urusan perut yang ingin kenyang dan lidah yang ingin merasakan lezat maupun gurih. Mau tak mau akan menyerempet ke banyak soal. Apalagi itu makanan khas suatu daerah. Ia tak bisa dilepaskan dari kondisi sosial, ekonomi, politik, sejarah, dan spiritualitas.
Apa urusan kondisi sosial, ekonomi, politik, sejarah, dan keagamaan dalam makanan? Sambal Tumpang misalnya, masakan khas Kediri yang terbuat dari tempe busuk. Sejarah kemunculannya tak bisa dilepaskan dari aspek sosial dan ekonomi masyarakat yang pada waktu itu mengalami paceklik bahan pangan. Sehingga diperlukan kreativitas untuk mengolah yang “seharusnya tak bisa diolah” menjadi sesuatu yang bisa dinikmati.
Dalam konteks sosio ekonomi masyarakat yang berkelimpahan bahan pangan sangat mungkin kreativitas untuk menghasilkan Sambal Tumpang tidak lahir. Dengan kata lain sambal tumpang adalah respon kreatif untuk tetap menyajikan makanan di tengah keterbatasan bahan pangan. Walaupun dugaan itu masih harus membutuhkan verifikasi pembacaan sejarah yang ketat, perlahan upaya pencarian itu mulai dirintis.
Kegairahan Liliek Sundoko dalam mencari makanan khas Kediri dan makanan khas Jawa Timur dimulai sejak tahun 1972 ketika aktif dalam kepengurusan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kota Kediri. Saat bertugas menjadi Kasi Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1979, penelusuran untuk menemukan makanan khas Kediri didukung oleh Pemerintah Kota waktu itu. Dengan melakukan penelitian kemudian membandingkan makanan khas daerah Ponorogo, Tulungagung, Madiun dan daerah lainnya.
Ikhtiar itu menghasilkan Surat Keputusan Walikota Kediri nomor 691 tahun 2008 tentang penetapan berbagai olahan seperti makanan pokok, masakan, panganan (makanan ringan dan kue), dan minuman menjadi khas Kediri. Beberapa di antaranya adalah Pecel Punten, Sambal Tumpang, Tahu Kuning, Gethuk Pisang, Cining, Duda Kemulan, Eyek-eyek, Plenggong, Ireng-ireng, Jibeg, Klenyem, Untup-untup, Wedang Awe-awe, dan Sriwet Moblong.

Beraneka macam makanan khas dengan berbagai nama yang menyertainya tidak bisa dilepaskan dari tradisi masyarakat Jawa saat itu. Penggunaan bahan dan pembungkus yang menghasilkan tampilan sedemikian rupa terkadang menyelipkan makna di dalamnya. Iwel-iwel misalnya, ia bukan makanan harian yang bisa dinikmati kapan saja. Keberadaan iwel-iwel terikat konteks sosio religi, kepercayaan masyarakat kita tentang suatu kelahiran manusia ke dunia. Iwel-iwel menjadi perlambang kelahiran manusia ke dunia itu dimaknai.
Kepedulian Liliek Sundoko dalam menelusuri sejarah dan identitas Kediri tidak hanya dalam urusan masak memasak saja. Pelestarian nilai-nilai tradisi dengan membentuk Sanggar Padma Surya diperuntukkan untuk masyarakat sekitar, khususnya ibu-ibu di Tosaren. Mempopulerkan kembali tradisi lisan menina-bobokkan anak kecil di pangkuan ibu dengan lagu tradisional salah satunya. Lagu Tak Lelo Lelo Ledhung yang sarat dengan pesan moral dan filosofis misalnya pernah dilombakan di kampungnya. Selain itu, Liliek Sundoko punya peran yang besar dalam mewujudkan Museum Airlangga saat masih menjabat sebagai Kasi Kebudayaan.
Pencatatan dan pengarsipan yang cukup rapi dari hasil berburu resep pada akhirnya menghasilkan karya. Belasan resep masakan Liliek Sundoko telah dipublikasikan oleh beberapa penerbit, salah satunya adalah Pustaka Gramedia. Dalam sebuah terbitan Gramedia tahun 2014 Cerita Boga Indonesia, Persembahan Untuk Penulis Buku Masak Indonesia, Liliek Sundoko termasuk salah satu dari 48 penulis resep tersebut.
Membicarakan makanan adalah membicarakan rasa, bentuk, dibeli di mana dan harganya berapa. Jarang kita berbicara lebih jauh daripada itu, pembicaraan kita kerap terhenti di sana. Terhenti pada hal-hal yang terindra di hadapan kita. Padahal lewat makanan kita bisa berbicara lebih jauh tentang masyarakat, tentang manusia, tentang profesi.
Cukup lihat apa yang tersaji di meja makan maka kita menemukan berbagai profesi terlibat di situ. Selalu ada manusia di belakang makanan yang kita konsumsi. Di balik makanan atau hidangan yang tersaji rapi di atas meja. Ada peran sentral orang-orang yang selama ini tak terlalu diingat, jarang dibicarakan, bahkan dilupakan.
Pada akhirnya, makanan memang bukan hanya persoalan perut, lidah, dan mata. Darinya kita bisa memotret budaya manusia yang merentang luas. Mulai dari gaya hidup sampai profesi yang dimarjinalkan. (Lutfi Zanwar Kurniawan)