SEPULANG bekerja sebagai tukang bangunan di Timor Leste, Nur Ali Suroso merintis ketahanan ekonomi secara mandiri. Uang hasil keringatnya merantau menjadi TKI, dilimpahkan sepenuhnya menjadi modal usaha berternak telur puyuh. Warga Desa Tunjung, Kecamatan Udanawu, Kabupaten Blitar itu, mempelajari metode perawatan dan tahapan pengembangbiakan unggas mungil ini secara otodidak, dengan mengandalkan informasi yang melimpah di internet.
“Saya juga banyak membaca seputar dunia peternakan di buku bekas dari pasar loak,” terang Ali, sapaan akrabnya, Senin, 2 Juli 2018 di Blitar.
Gemar memelihara hewan ternak sejak masih anak-anak, membuat pria berusia tiga puluh lima tahun tersebut yakin jika kesukaan tersebut adalah dunianya. Dukungan dari keluarga, turut memperbulat tekad bahwa budidaya telur puyuh merupakan ikhtiar yang menjanjikan. Saat awal membuka usaha, tepatnya tiga tahrun lalu, Ali dibantu oleh Sutarno; kakak sepupu yang terlebih dulu mendirikan bisnis serupa. Antara lain tata cara untuk membangun kandang burung puyuh yang ideal.
Kandang berisi ribuan puyuh dengan konstruksi bertingkat-tingkat diletakkan di belakang rumah. Dari segi operasional sehari-hari, ia dibantu oleh sang istri, Etik Zuliani. Selain mengurus rumah tangga, Etik bertugas memberi makan unggas daratan itu tiap pagi dan sore hari. Saat ini, jumlah burung peliharaan Ali mencapai lebih dari empat ribu ekor.
“Itu sudah termasuk signifikan, karena di awal rintisan usaha hanya berjumlah seribu ekor saja,” kata pria yang menggemari kendaraan vespa ini.
Atas ketekunan mengelola bisnisnya, menghasilkan pundi-pundi rupiah di kisaran 10-12 juta per bulan. Untuk merambah konsumen, Ali gencar melakukan promosi melalui akun pribadinya di media sosial. Dalam seminggu, Ia sanggup memasarkan sekitar 2-5 kwintal telur puyuh. Berbagai kota wilayah Jawa Timur seperti Kediri, Tulungagung, Blitar, Trenggalek, hingga Jember dan Banyuwangi adalah kawasan yang pernah Ia sasar.
Penghasilannya makin bertambah dari hasil penjualan burung puyuh yang masuk dalam golongan apkir. Burung yang telah habis masa produktif itu, dibeli oleh para pengusaha warung-warung makan.
Keuntungan yang tak kalah besar justru diperoleh dari jasa pembuatan kandang. Para kolega sesama pengusaha sering memintanya untuk memproduksi kandang, lengkap dengan instalasi lampu. Kandang hasil karya Ali, dapat bertahan pada penggunaan selama 3-4 tahun. Satu set kurungan burung puyuh itu dipatok harga satu juta Rupiah.
Selama perjalanan usahanya, Ali sempat menemui masalah yang cukup mengganjal. Misalnya, persoalan burung puyuh yang tiba-tiba mati dan bau menyengat dari kotoran. Dia dipaksa memutar otak agar masalah tidak berefek domino, yang ujungnya bisa memperburuk keberlangsungan bisnisnya.
Meskipun problem itu dapat mudah teratasi melalui obat-obatan kimia, tapi sayangnya mesti dicapai dengan merogoh kocek dalam-dalam. Alhasil, Ali berinisiatif menempuh langkah alternatif. Yaitu, memanfaatkan buah mengkudu dan empon-empon seperti kunir, kunyit , kencur, dan jahe yang terlebih dulu melalui proses fermentasi.
Bermacam bahan tradisional itu kemudian dicampur pada makanan ternak. Eksperimennya berhasil; formula itu mujarab untuk mengurangi bau kotoran dan menguatkan daya tahan burung puyuh. Sebab, kaya akan kandungan antibiotik, probiotik, dan asam amino.
“Lewat ramuan itu, kotoran puyuh jadi tidak terlalu bau, sehingga tak mengganggu tetangga sekitar,” kata Ali sambil menunjuk jerigen bervolume 10 liter yang digunakan sebagai wadah ramuan fermentasi itu.
Dari pengalaman yang ia alami, Ali merasa bahwa terjun ke dunia bisnis secara mandiri sewajarnya memerlukan daya kreatifitas yang berkesinambungan. Hal tersebut sangat berguna untuk memecahkan setiap kendala yang sudah pasti muncul. Sehingga, ikhtiar dalam mengembangkan sayap bisnisnya makin kokoh seiring waktu berjalan. (Kholisul Fatikhin)