BAGI warga di Kecamatan Puncu, Kabupaten Kediri, keberadaan Sumber Kali Cawang mempunyai peran yang signifikan. Aliran dari mata air tersebut, menjadi tumpuan bagi kehidupan masyarakat di kawasan sekitar lereng Gunung Kelud. Di antaranya, warga yang tinggal Desa Puncu, Satak, Asmarabangun, Kebunrejo, dan Kampungbaru.
Sumber air yang terletak di wilayah Perhutani KPH Kediri itu, baru dimanfaatkan warga sekitar lima tahun yang lalu. Sebelumnya, untuk memenuhi kebutuhan air bersih sehari-hari, mereka bergantung pada Sumber Clangap dan Jeding Miring. Namun, akibat erupsi Gunung Kelud pada 2014, sumber itu tidak berfungsi dengan maksimal. Semburan jutaan material vulkanik, menyumbat arus air dua sendang tersebut.
“Sumber Kali Cawang dipilih karena memiliki debit air yang cukup besar, airnya tetap mengalir meski di musim kemarau sekalipun,” kata Sugianto, Kepala Seksi (Kasi) Pelayanan Desa Puncu, Selasa 29 Januari 2019.
Lokasi Sumber Kali Cawang dan pemukiman, terpaut jarak sekitar 5 kilometer. Untuk mempermudah akses, pada tahun 2014 PT Gudang Garam, Tbk. (GG) membangun jaringan pipa dari Sumber Kali Cawang yang bisa langsung diarahkan ke rumah-rumah warga.
“Saat terjadi erupsi Gunung Kelud tahun 2014 lalu, kami harus bergerak cepat sebagai bentuk tanggung jawab sosial Gudang Garam kepada masyarakat,” kata Iwhan Tricahyono, Kabid Humas GG. Kala itu, 31.000 warga Kecamatan Puncu terancam tidak dapat pasokan air bersih. Bahkan untuk kebutuhan mendasar seperti mandi, masak, dan mencuci.
Pipanisasi sepanjang 4.500 meter ini terakit melintasi area Perkebunan Ngrangkah Pawon, menuju ke tempat penampungan yang terletak di Desa Kalipang. Air yang tertampung dalam tandon bervolume 36.000 liter itu selanjutnya dialokasikan ke lima desa di Kecamatan Puncu.
Sugianto menerangkan, sejak beroperasi pada tahun 2014, sejauh ini belum terjadi kendala teknis yang berarti. Ketika musim hujan tiba, pasokan air cenderung stabil bahkan sering meluap. Jika dirata-rata, air akan menyembur sebanyak 10 liter per menit. Namun saat kemarau, debit air menurun hingga separuhnya.
“Bila kemarau, kami terpaksa menerapkan sistem buka-tutup, agar warga tetap mendapatkan air secara bergiliran,” ujar pria yang sebelumnya menjabat sebagai Jogo Tirto sekaligus penanggung jawab kelancaran proses pipanisasi tersebut. Di samping itu, Sugianto dipercaya merawat pipa maupun bak penampungan air, jika ada kerusakan.
Menurut lelaki empat puluh tujuh tahun ini, perawatan fasilitas itu tidak terlalu memberatkan. Sebab, masyarakat setempat secara swadaya membantu membersihkan tandon dari pasir dan lumpur secara berkala. Mereka sadar akan pentingnya pasokan air bersih dan sangat terbantu dengan pipanisasi dari GG itu.
Tasrip misalnya, untuk mendapatkan air bersih, pria lima puluh lima tahun itu sekarang tidak perlu repot mengantre dengan membawa jirigen menuju tandon. “Airnya stabil dan mengalir sampai rumah,” katanya. (Kholisul Fatikhin)