DI saat jalanan masih lengang dan matahari belum begitu terik, deretan penjual nasi dan bubur memenuhi Jalan Doho Kota Kediri, Jawa Timur. Jalan itu berada di kawasan jantung kota, berada di sebelah timur Sungai Brantas.
Jarum jam masih menunjukkan pukul 06.17, ketika seorang perempuan mendorong gerobak warna biru. Dia bergerak melintasi deretan pedagang nasi dan bubur. Rombong berisi aneka macam kue itu milik Ny Lamiran, perempuan berusia 80 tahun. Orang-orang menyapanya dengan panggilan akrab, Mbah Lamiran.
“Saya mulai menjajakan kue sejak tahun 1977,” kata perempuan kelahiran tahun 1936 itu, pekan lalu.
Sembari melayani pembeli, Mbah Lamiran mengisahkan pengalamannya berdagang. Menurut dia, awal mula berdagang, dia keliling dengan menggunakan tenong, wadah yang terbuat dari plat seng mirip rantang bersusun. Ukurannya sebesar tampah dan dibawa dengan cara digendong. Rute sehari-hari yang dilewati saat menjajakan dagangannya adalah menyusuri Jalan Patimura, Jalan Doho, kemudian berhenti di sebelah utara kantor Bank Indonesia.
Pukul 04.30, Mbah Lamiran berangkat dari rumahnya mengambil kue yang akan dijajakan. Kue-kue itu dibeli dari pengusaha kue basah di Jalan Patimura, mulai kawasan Setono Pande hingga Ringin Anom, Kota Kediri. Kue tersebut dibeli Mbah Lamiran secara tunai dan bukan titipan.
“Lha ngaten niki nggih kedah telas, mas, amargi jajan meniko kulo mundut, sanes titipan.” (Lha begini ini harus habis mas, karena saya membelinya, bukan titipan),” kata wanita berkerudung itu.
Sekitar sepuluh tahun silam, Mbah Lamiran mengganti tenongnya dengan gerobak yang bisa didorong. Dia mengaku sudah tidak mampu lagi menggendong tenong.
Kue yang dijajakan Mbah Lamiran adalah jajanan basah seperti lumpia, lemper, lumpur, mendut, sus basah, nogosari, bikang, wajik, dan penganan populer lainnya. Dia menjual berbagai jenis kue tersebut dengan harga berkisar mulai Rp 2.000 – Rp 2.500 per buah. Dagangannya harus habis sebelum siang, karena pada sore hari akan basi. Jika tidak semuanya laku, terpaksa dibawa pulang untuk dimakan sendiri atau dibagikan pada tetangga.
Anak cucu Mbah Lamiran sejatinya kerap melarang perempuan sepuh itu berjualan. Mereka cemas dengan kondisi kesehatan dan usianya yang memerlukan banyak istirahat. Namun rupanya Mbah Lamiran justru merasa sehat jika bisa terus berkeliling bersama gerobaknya berjualan kue.
“Mau hujan atau tidak, tiap pagi saya harus jualan karena dengan begitu saya justru merasa bersemangat dan punya harapan untuk gembira,” kata Mbah Lamiran dengan bahasa Jawa halus, sambil tersenyum. (F. Widodo Putra)