SAMPAI sekarang, banyak kawasan di dunia masih menggunakan metode waxing atau menggores lilin dalam pembuatan gambar di atas selembar kain. Lilin, atau biasa disebut “malam”, berfungsi untuk melindungi tekstil dari warna tertentu selama proses perwarnaan. Teknologi perintang warna yang ditemukan manusia semenjak abad ke-4 SM itulah kini dikenal bernama Batik. Namun, tidak ada tempat di dunia yang menerapkan teknik tersebut dengan hasil sehalus seperti di Indonesia.
Batik Indonesia kian masyhur seiring dengan ketekunan penduduk turun-termurun menoreh canting. Sebuah cawan kecil dengan ujung pipa tembaga penera lilin pada katun untuk menghasilkan karya yang lazim disebut batik tulis. Khususnya di Pulau Jawa, keterampilan itu dipercaya telah subur sejak zaman Majapahit. Sebagaimana juga terjadi di Desa Mojosari, Kecamatan Kauman, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur.
Bahkan sampai kini, masyarakat di barat kota bernama asli “Bonorowo” yang berarti “hutan yang berubah jadi rawa” itu menyandarkan hidup sebagai pembatik. Tak ayal bila banyak industri batik rumahan muncul dari perkampungan di pesisir selatan Jawa Timur ini. Kualitas batiknya mampu bersaing di kancah nasional bahkan internasional. Salah satunya ialah Batik Gajahmada.
“Batik Gajahmada tidak akan lahir bila tidak ada tradisi membatik di daerah Mojosari,” kata Ike Yulianasari, pada Senin, 8 Februari 2020, di pusat workshop Batik Gajahmada di Jalan Gajahmada 17, Desa Mojosari, Kecamatan Kauman, Kabupaten Tulungagung.
Ike adalah generasi kedua di perusahaan batik yang didirikan orang tuanya, Danu Mulyo dan Munganah, pada tahun 1978. Sejak itu pula, Batik Gajahmada ajek memproduksi ragam batik khas “Tulungagungan”. Sedikitnya terdapat tiga jenis, antara lain, Batik Bangoan, Batik Majanan, dan Batik Kambretan.
Ketiga motif tersebut biasanya identik berisi pola membentuk burung merak, serta aneka flora habitat kawasan rawa. Seperti bunga teratai, kangkung, eceng gondok, sepatu, dan kuntup belinjo atau akrab disebut “kroto”. Motif-motif ini ditampilkan dari dasar corak gelap berwarna hitam atau coklat kehijauan. Namun tetap menonjol karena paduan kelir-kelir cerah, di antaranya, biru, hijau, dan ungu.
Meski batik tulisan tangan menjadi unggulan, Batik Gajahmada juga rutin membuat batik cap. Yaitu, hasil peneraan malam menggunakan stempel tembaga. Seringkali, teknik otomatisasi yang lahir sejak awal abad ke-19 ini dikawinkan dengan metode batik tulis.
“Tapi perpaduan itu tidak berlaku untuk pembuatan batik hand printing,” kata Mulyanto, penanggung jawab unit printing Batik Gajahmada.
Mulyanto melanjutkan, pengerjaan batik hand printing kurang lebih sama dengan teknik sablon. Tapi pada proses berikutnya, tetap melalui tahapan sebagaimana pada pengolahan batik cap maupun tulis. Namun hanya batik hand printing yang memungkinkan bisa diproduksi secara cepat dan masal. Dari karya-karya batik modern ini pula, Batik Gajahmada menelurkan aneka produk fashion. Mulai kemeja, tunik, long dress, home set, hingga paket seragam kantor.
Sebelum pandemi Covid-19 melanda dunia, Batik Gajahmada rata-rata memproduksi sekitar 1.200 potong, setara 2.400 Meter kain batik cap dan tulis setiap bulan. Sementara sekitar 4.500 Meter kain habis untuk menggarap batik hand printing .
Tiap potong batik tulis, dijual dengan nilai sesuai detail motif, warna, serta tingkat pengerjaannya. Tersedia mulai harga 275 Ribu hingga 3 Juta Rupiah. Sedangkan batik cap ditawarkan di angka 170 Ribu Rupiah per potong, dan 130 Ribu Rupiah untuk batik hand printing.
“Selama pandemi Virus Corona, pendapatan perusahaan merosot sampai delapan puluh persen,” ujar Ike.
Hal itu terjadi karena permintaan konsumen sepi. Terutama oleh sebab terhambatnya pengiriman batik ke berbagai daerah pelanggan. Seperti Malang, Solo, dan Yogyakarta.
Menariknya, pembatasan sosial justru membuka kesempatan Batik Gajahmada merambah pasar online yang selama ini jarang dilakukan. Sembari membarui rupa outlet serta galeri Batik Gajahmada di sejumlah titik di Tulungagung. Antara lain, di Jalan Wilis di Karanganom, dan Jalan Pangeran Antasari di daerah Kenayan.
Menurut Ike, para pembatik Tulungagung telah melalui bermacam keadaan di berbagai zaman. Alih-alih tenggelam, justru batik dari kota Homo Wajakensis ini tetap bertahan bahkan terus berkembang. Apalagi setelah Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), melalui Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan (UNESCO), menetapkan batik Indonesia sebagai warisan dunia.
“Maka dari itu saya yakin batik masih jadi primadona banyak orang, bukan hanya di Indonesia, tapi dari seluruh penjuru dunia,” kata Ike. (Naim Ali)
Discussion about this post