BERBEDA dengan wilayah Kabupaten Kediri, secara geografis kawasan Kota Kediri tidak memiliki banyak destinasi alam untuk menunjang kegiatan wisata. Namun, adanya fakta tersebut bukan seperti simpul mati yang tak dapat diurai. Sektor pariwisata tetap bisa dikembangkan dengan mengendus kekayaan kearifan lokal.
“Pariwisata di Kota Kediri dapat digairahkan lewat pemetaan potensi kawasan secara mendalam,” kata Dwidjo Utomo Maksum, narasumber di acara Pelatihan Dasar Pemandu Wisata Sejarah. Acara yang berlangsung pada Minggu, 30 Juni 2019 di Titik Nol Resto Kediri tersebut, digelar oleh Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Kepemudaan, dan Olah Raga (Disbudparpora) Kota Kediri.
Pemimpin Redaksi Kediripedia.com itu melanjutkan, grand design untuk meramaikan turisme kawasan yang terletak di 130 Kilometer barat daya Kota Surabaya itu, bisa dimulai dari sesuatu yang paling sederhana, yaitu berimajinasi. Dengan kata lain, dibutuhkan ide-ide kreatif dan pandangan ke depan untuk mengemas berbagai titik potensial.
Misalnya, sebagai wilayah yang terbelah aliran Sungai Brantas, kota terbesar ketiga di Jawa Timur tersebut memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi waterfront city, sebagaimana di daerah Venezia, Italia. Bangunan berupa rumah dan perkantoran di tepian seharusnya menghadap ke sungai. Dengan begitu, kebiasaan membuang sampah di Sungai Brantas secara perlahan terkikis.
Sekitar empat puluh peserta dari perwakilan kelurahan, komunitas, dan pengelola akun media sosial populer; diajak menyelami aset-aset yang berpotensi menarik kunjungan wisatawan. Mulai dari sejarah, arkeologi, religi, industri kreatif, dan kuliner; hingga berbagai komunitas yang tumbuh di Kota Kediri.
Soal sejarah, diskusi mengarah ke pembahasan kawasan Pecinan. Antara lain berupa keberadaan klenteng dan toko-toko tua. “Chinatown Kediri adalah daerah metropolitan di masa lampau,” kata Dwidjo.
Salah satunya Toko Soerabaia (sekarang Toko Surabaya) yang berdiri di depan Hotel Penataran Jalan Dhoho. Pada awal abad-19, tempat tersebut merupakan supermarket penyedia barang kebutuhan sehari-hari. Mulai urusan otomotif hingga keperluan bumbu dapur.
Dulunya, pada bangunan belakang toko merupakan pusat penerbitan yang dikelola Tan Khoen Swie. Banyak pihak menyebut, tempat itu adalah cikal bakal penerbitan di Indonesia. Sebab, keberadaannya lebih dulu ada dibandingkan Balai Pustaka. Eksistensinya di masa lalu memiliki peran penting mengubah tradisi oral (lisan) ke tradisi tulis. Salah satu buku yang pernah diterbitkan oleh Tan Khoen Swie yaitu naskah Serat Babad Kediri.
Selain Tan Khoen Swie, terdapat beberapa spot wisata sejarah potensial lainnya. Misalnya, Jembatan Lawas, jembatan berkonstruksi besi pertama di Pulau Jawa. Di ranah arkeologi, di Kota Kediri terdapat Goa Selomangleng, Museum Airlangga, dan Candi Klotok.
Sementara makam Syech Wasil di Setono Gedong telah melekat sebagai tujuan tamasya religi. Begitu juga dengan beberapa pondok pesantren yang berkembang dan kian membesar di kota berpenduduk 312.999 jiwa ini. Antara lain Ponpes Lirboyo, Ponpes Wahidiyah, LDII, Ponpes Al-Ishlah, dan Ponpes Salafiyyah.
Bila menilik kuliner, Kota Kediri terkenal dengan Tahu Takwa, Soto Tamanan, dan Pecel Jalan Dhoho. Namun, dalam diskusi di forum pelatihan pemandu wisata tersebut dibahas, bahwa kuliner Kota Kediri seharusnya lebih kaya.
“Kuliner yang sudah populer sebaiknya jangan terus diekspos,” kata Dwidjo. Perhatian justru harus diarahkan pada ragam kuliner menarik lainnya. Salah satunya dengan mengunggahnya di akun media sosial, sehingga lebih diketahui oleh masyarakat luas.
Sementara dalam bidang industri kreatif, kerajinan tenun ikat masih memikat. “Pada tahun 2018, daerah penghasil tenun tersebut sudah diresmikan menjadi kampung wisata,” ujar M. Ayub, Kabid Pariwisata Disbudparpora Kota Kediri.
Ayub menambahkan, kehidupan masyarakat Kota Kediri ke depan, akan bersinggungan dengan dua proyek infrastruktur besar. Antara lain, program pembangunan bandara dan jalan tol. Menurutnya, karena kawasan Kota Kediri tidak memiliki potensi alam, kreativitas menjadi kata kunci untuk mengemas berbagai potensi baik itu sejarah maupun industri kreatif, menjadi destinasi wisata. Agar, ketika orang singgah di kota seluas 63,40 Kilometer persegi ini, ada sesuatu yang ditawarkan. Entah hanya sekadar dilihat ataupun dibeli sebagai oleh-oleh. (Kholisul Fatikhin)