Dalam pusaran peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, tokoh pendiri Nahdhatul Ulama (NU)KH Hasyim Asy’ari, sempat bertemu dengan Tan Malaka di Mojokerto. Ada cerita juga, secara rutin ia bertemu dengan KH Wachid Hasyim (ayah Gus Dur). Hal tersebut mengemuka dalam dialog kebangsaan dengan tajuk “Tan Malaka: Perjalanan Politik Seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional”.
Agenda yang digagas oleh Tan Malaka Institute ini, dihadiri ratusan peserta dari berbagai kalangan. Aula rektorat Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kediri, Kamis siang, 9 November 2017 itu menjadi tempat para mahasiswa, dosen, dan aktivis pergerakan mengenal lebih dekat sosok Tan Malaka. Para tokoh ulama NU Kota Kediri juga hadir, mereka adalah KH An’im Falahuddin Mahrus, dzurriyah Pondok Pesantren Lirboyo; KH Abdul Muid Shohib, pengasuh Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien (MHM) Ponpes Lirboyo; KH Muzer Zaidib, Dewan Syuro DPC PKB Kota Kediri; dan KH Imam Tholabi, pengurus PCNU Kota Kediri .
Sejak tahun 2016, dialog kebangsaan ini telah diadakan di beberapa kota di Indonesia secara berkala. Ini merupakan dialog kebangsaan ketujuh yang digelar oleh Tan Malaka Institute.
“Dialog ini mengurai perjuangan politik KH Hasyim Asy’ari, yang ternyata punya hubungan baik dengan Tan Malaka,” kata Taufik Al Amin, ketua panitia acara, yang juga dosen Jurusan Ushuludin dan Ilmu Sosial.
Tiga orang didapuk menjadi narasumber. Ketiganya, masing-masing mengupas penulis buku “Naar de Republiek” itu dari perspektif yang berbeda. Mereka adalah Khatibul Umam Wiranu, Direktur Tan Malaka Institute dan anggota DPR RI; Prof Zulhasril Nasir, Guru besar Universitas Indonesia (UI); dan Dwidjo U. Maksum, Pemimpin Redaksi Kediripedia.com dan salah satu editor buku “Tan Malaka, Bapak Republik yang Dilupakan”. Dalam penyampaian materi, para pembicara tersebut dimoderatori oleh Ben Ibratama Tanur, Pemimpin Redaksi HarianIndonesia.id.
Pada pembahasan awal Umam Wiranu, menjelaskan, Tan Malaka pernah bertemu dengan KH Hasyim Asy’ari dengan nama samaran “Husein”. Umam menyebut bahwa kuat dugaan, hubungan Tan dan tokoh pendiri Nahdhatul Ulama berujung pada meletusnya kejadian besar dan bersejarah. Di antaranya, resolusi jihad NU pada 22 Oktober 1945, yang sekarang diperingati sebagai Hari Santri Nasional, dan peristiwa 10 November 1945, kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Sementara itu, Prof Zulhasril Nasir dari Universitas Indonesia, membedah Tan Malaka dari sisi latar belakang kehidupannya sebagai orang Minang. Lebih mendalam ia menjelaskan keterkaitan Tan dengan beberapa tokoh dunia, seperti Ho Chi Minh di Vietnam, dan Fidel Castro di Kuba.
Dari perspektif yang berbeda pula, pembicara ketiga, Dwidjo U. Maksum menekankan, meneropong Tan Malaka harus melalui pendekatan ilmu pengetahuan. Mengidentifikasi Tan Malaka harusnya bisa dilakukan dengan terang dan mudah. Sebab, tinggalan literasinya berupa surat, catatan dan buku sangat melimpah.
Agenda diskusi ini berlangsung sekitar tiga jam, dilanjutkan dengan berziarah ke makam Tan Malaka di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri. “Ia adalah salah satu pendiri Republik Indonesia, jasanya besar sekali,” ujar Umam. Tan Malaka Institute, selanjutnya akan bekerja keras mengembalikan hak-hak Tan Malaka sebagai pahlawan kemerdekaan Nasional. (Naim Ali, Kholisul Fatikhin)