TITIK kumpul bagi pelancong yang hendak menuju Kepulauan Seribu, khususnya Pulau Kelor, Onrust dan Cipir adalah Muara Kamal. Kawasan di Jakarta Utara itu juga dikenal sebagai tempat pelelangan ikan. Hampir seluruh penduduknya berprofesi sebagai nelayan atau pemilik kapal penumpang.
Di Muara Kamal pada Minggu pagi, 2 Desember 2018, langit nampak cerah berawan. Di pasar ikan, mereka menyajikan begitu banyak ragam hasil laut dari tangkapan semalam. Pertanyaan apapun tentang hasil bahari dijawab dengan jelas dan lengkap.
Di hadapan jajaran rumah penduduk, terdapat jalanan beton panjang yang langsung berbatasan dengan laut. Perahu-perahu berlabuh di dinding beton itu. Setiap rumah mempunyai akses ke dermaga sederhana yang dibangun dari tiang-tiang bambu, tempat tali kapal juga ditambatkan. Dermaga sederhana itulah pintu masuk bagi wisatawan menuju ke Pulau Kelor, Onrust, dan Cipir.
Pulau Kelor dan Benteng Pertahanan yang Telah Kendor
Meninggalkan dermaga, perahu mengaluni gelombang laut. Berlayar di antara ribuan tiang bambu yang ditancapkan dan digunakan untuk budidaya kerang. Pada waktu-waktu tertentu, nelayan akan memanen kerangnya. Bukan hal mudah untuk bekerja di antara titian bambu sempit, deraan gelombang lautan, serta terpaan angin kencang.
Perahu mengarah ke Timur Laut, menuju ke Pulau Kelor. Butuh waktu 30 menit untuk sampai jika gelombang laut tak terlalu besar. Di Pulau Kelor yang luasnya hanya sekitar 0,28 Kilometer persegi, masih berdiri sisa-sisa Benteng Martello yang didirikan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada abad ke-17, untuk menghadapi serangan Portugis.
Awalnya, benteng terletak di tengah pulau. Karena kikisan air laut, posisi benteng bergeser hingga ke pinggir pulau. Sementara sebagian bangunan yang sudah runtuh terseret arus laut. Untuk melindungi pulau, dibangun tembok beton di sejumlah sisi dan tiang-tiang beton rendah untuk memecah ombak. Tiang-tiang beton itu dimanfaatkan para pemancing untuk mendapatkan ikan. Pengunjung lain kebanyakan berfoto atau menggelar hamparan kain untuk duduk dan makan di sekitar benteng, di bawah rindang pepohonan.
Kendati desain bangunan benteng itu cantik dengan warna merah batu bata begitu menawan, di tengah kesunyian tetap terasa kengerian. Ada bagian dari bangunan yang merupakan lubang meriam dan lubang tembak. Di situlah tentara VOC mengarahkan senjata kepada lawannya. Pada sejumlah panel tanam yang berisi informasi mengenai benteng Martello, tak tertera berapa banyak nyawa yang melayang karena serangan itu.
Pulau Onrust dan Para Tawanan yang Tak Terurus
Melewatkan waktu sekitar dua jam di Pulau Kelor, tujuan wisata selanjutnya adalah Pulau Onrust, pulau terbesar di antara ketiga pulau yang dikunjungi hari itu. Butuh 20 menit perjalanan dari Kelor menuju Onrust. Perahu merapat di dermaga beton buatan, karena tepian pulau bukanlah pantai berpasir melainkan batuan karang.
Jalanan masuk ke pulau mengarahkan pengunjung pada panel besar bertuliskan riwayat sejarah pulau. Di pulau inilah VOC pada awalnya hendak membangun galangan kapal pada 1613. Benteng di Pulau Onrust sendiri baru dibangun pada 1656. Pada tahun 1800, bangunan di pulau ini dihancurkan tentara Inggris. Gedung-gedung di pulau dibangun kembali pada 1883, namun dihancurkan lagi oleh Inggris pada 1810 dan diduduki hingga 1816.
Bangunan di Pulau Onrust kemudian diperbaiki kembali pada 1828. Di tahun 1911 sempat pula dijadikan tempat karantina bagi calon jemaah haji. Namun pada 1933-1940, pulau difungsikan sebagai tempat tahanan bagi tawanan dan akhirnya pada 1968 dibongkar serta dijarah material bangunannya oleh penduduk atas izin otoritas setempat. Berbagai bangunan pun porak poranda dan tak utuh lagi. Baru pada 1972, Gubernur Jakarta, Ali Sadikin, menetapkan Onrust sebagai situs sejarah.
Jalan utama di Pulau Onrust terdapat sebuah bangunan kuno yang dijadikan museum. Di dalamnya terdapat benda-benda bersejarah seperti material bangunan, puing-puing keramik, maket pulau, dan aneka temuan arkeologi lainnya. Maket pulau membuat pengunjung berdecak kagum, mengetahui betapa megah bangunan-bangunan di pulau seluas 12 hektar are ini pada awalnya.
Kehancuran Onrust menyisakan puing-puing di sekujur pulau. Jika tak ada panel informasi, sulit menduga batu-batu itu dulunya pernah berwujud bangunan apa. Ada satu narasi menarik mengenai Onrust yang dituliskan di panel dinding museum: “Mereka lakukan bermacam kegiatan di sini, di pulau yang sibuk ini. Onrust yang tak kenal henti. Lalu ia ditinggalkan, tinggal reruntuhan. Menyibukkan para peneliti, menyulitkan rekonstruksi, tapi takkan menyurutkan semangat edukasi. Karena sepotong bata merah adalah sepenggal sejarah.”
Jika tak ada papan-papan informasi, sulit untuk mengetahui sejarah bahkan merasakan sakitnya mendirikan bangunan untuk dihancurkan, membangun kembali untuk dihancurkan lagi.
Kini, pemerintah tampak serius menangani Onrust. Dalam dua kali kunjungan (yang kedua pada 16 Desember 2018), tampak beberapa pekerja melakukan perbaikan pada sejumlah bangunan. Ada yang sudah selesai direnovasi seperti kompleks penjara, namun ada juga yang masih dalam proses seperti makam Belanda dan sejumlah bangunan lainnya.
Khusus tentang kompleks penjara, bangunan inilah yang agaknya paling ngeri di pulau Onrust. Kengerian itu dibangun oleh suasana dan kisah-kisah ngeri yang dituturkan, kendati tak semua mudah untuk diklarifikasi.
Para tawanan dijejalkan ke dalam sel tahanan yang sempit dan tak diberi cukup makan. Mereka semua dalam keadaan lapar dan tertekan. Ketika makanan dilemparkan begitu saja dalam jumlah yang sangat sedikit, tak jarang terjadi perebutan di antara mereka sendiri. Tak jarang juga terjadi perkelahian sampai mati. Tampaknya semua orang berusaha untuk hidup supaya bisa keluar dengan selamat. Sayangnya, “hidup dan selamat” itu sebetulnya bukan hanya soal cukup makan, namun juga cukup kewarasan. Berebut makanan sampai mati, adalah hal yang sulit diterima akal sehat.
Dalam kompleks penjara, ada sebuah ruang yang digunakan untuk melakukan interogasi. Tidak banyak cerita yang dikisahkan oleh pemandu perjalanan tentang ruang ini, namun mendengar kata “interogasi” saja sudah cukup membuat bergidik.
Ada satu ruang lagi yang membuat para pengunjung tercekam. Di bagian tengah kompleks, terdapat ruangan separuh terbuka yang dibuat semacam arena berkelahi untuk para tahanan. Bentuk arena itu semacam kolam bundar di tengah-tengah. Para tahanan digiring masuk ke sana untuk diadu. Mereka tak mendapat banyak opsi; hanya berkelahi, sampai satu di antaranya mati.
Tahanan yang bersikap baik dan menang dalam berkelahi, kadang-kadang dijanjikan untuk keluar dari pulau. Tidak dengan cara yang mudah juga, karena mereka diperintahkan untuk berenang sampai ke darat. Biasanya, sebelum terlalu jauh meninggalkan pantai atau dermaga, mereka ditembak mati.
Kisah tragis para tahanan ini mau tak mau membuat orang berpikir. Jangan-jangan, sebenarnya memang tidak pernah ada skenario untuk membuat para tahanan tetap hidup. Vonis hukuman adalah juga vonis untuk mati.
Pada satu kesempatan kunjungan, seseorang yang adalah fotografer, tak sanggup memotret ruangan-ruangan kompleks penjara ini dengan kamera canggihnya. Ia hanya duduk di bangku beton di seberang ruangan dan terdiam cukup lama. Sebagai seseorang yang juga dikaruniai penglihatan tentang hal-hal yang tidak kasatmata, tampaknya baru kali ini anugerah itu melumpuhkannya. Ia tak sanggup memotret. Ia hanya memandangi ruangan dalam diam dan berkata, “Mereka yang mati itu ada di sana. Mereka hanya bisa diam saja.”
Pulau Cipir, Ketika kepada Penderitaan Manusia Mencibir
Perjalanan dari Onrust menuju pulau selanjutnya, Pulau Cipir, hanya sekitar 10 menit pelayaran. Di pulau ini, rekreasi air dimungkinkan karena ombak cukup kondusif untuk berenang atau naik banana boat. Hamparan pasir pantai digunakan pengunjung untuk berbaring, dan anak-anak membangun istana pasir.
Di pulau Cipir terdapat runtuhan rumah sakit kusta yang beroperasi pada tahun 1911-1933. Tak banyak kisah di tempat ini, selain petunjuk yang mengarahkan pikiran kepada suatu kesimpulan: ada suatu masa ketika kita belum mampu menyembuhkan penyakit, kita memilih untuk menyingkirkan jauh-jauh si penderita sakit. Sebetulnya disposisi batin ini masih lebih baik ketimbang stigma, bahwa penderita kusta adalah orang-orang yang dikutuk Tuhan sebagaimana pemikiran masyarakat sebelum Masehi. Tembok-tembok rumah sakit yang masih berdiri seolah menjadi saksi bagi diskriminasi itu.
Di Kelor kita menemukan sisa benteng dan meriam. Di Onrust, kita juga temukan meriam, penjara dan ruang-ruang penyiksaannya, serta kamar-kamar karantina. Di Cipir pun demikian. Sebagian besar bangunan itu runtuh; dan jika aku boleh sedikit sinis sekali ini saja, aku akan berkata bahwa keruntuhan bangunan itu bersamaan dengan keruntuhan kemanusiaan juga.
Manusia yang Menyejarah, Sejarah yang Memanusia
Dari Kelor, Onrust, dan Cipir kita belajar tentang permusuhan, perang, kekuasaan, kekuatan, dan kehancuran. Namun pada saat yang sama kita juga sekaligus belajar tentang perjuangan, strategi, komitmen, loyalitas pada negara dan bangsa, pengorbanan, keputusan, dan banyak lainnya.
“Life and death are balanced on the edge of a razor,” kata Homer, seorang penulis Yunani. Barangkali kebaikan dan kejahatan pun begitu. Orang mudah sekali tergelincir dari kebaikan menjadi kejahatan, begitu pula sebaliknya. Kita, yang mewarisi masa lalu, akan terus menjadi bagian dari kerusakan itu, selama kita juga masih sangat terbelenggu pada stereotipe dan prasangka negatif, kebencian, kekerasan, dan pengabaian.
Dari Kelor, Onrust, dan Cipir kita belajar bahwa sejarah bukan hanya masa lalu. Sejarah adalah sebuah titik pijak, yang mengarahkan manusia kepada masa depan. Jika kita masih mengulangi kesalahan-kesalahan dalam sejarah, mungkin kita termasuk orang yang tidak bisa belajar. Mungkin juga, tak punya visi tentang masa depan.
Kelor, Onrust dan Cipir bukan sekadar situs sejarah. Lebih daripada itu, ketiganya adalah sebuah situs kehidupan, yang selalu siap untuk diziarahi dan dimaknai kembali. (Helena D. Justicia)