Matahari belum terlalu condong ke barat, aktivitas di Taman Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Desa Pagersari, Kecamatan Kalidawir, Kabupaten Tulungagung, tempat Sulisetyawati mengajar itu telah sepi. Ia masih terlihat sibuk membereskan barang-barang berserakan. Di ruang kelas tak begitu luas itu; buku-buku pelajaran, piranti menggambar, kursi, dan meja: ia tata ke tempat semula.
Sejak enam tahun lalu ia aktif sebagai guru. Kerewelan anak-anak mengiringi keseharian perempuan ini. Sebelum menjalani profesinya sekarang, Sulis pernah bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW). Lima belas tahun yang lalu ia berangkat ke Brunei Darussalam. Bersama ribuan TKW lainnya, ia meretas asa demi memperbaiki kondisi ekonomi keluarganya. Kini, selain sebagai ibu rumah tangga, konsentrasi ia curahkan sepenuhnya untuk mengajar, sekaligus menjadi kepala sekolah PAUD.
“Hampir seluruh rumah di desa ini pasti ada yang jadi TKI, dari puluhan murid di sini kebanyakan memang anak-anak TKI,” kata Sulis, awal Januari 2018.
Semangat Sulis dalam mengelola lembaga pendidikan, didasari rasa kekhawatiran akan masa depan anak-anak di kampungnya. Nada bicaranya mendadak serius saat menjelaskan bahwa Pagersari, daerah tempat ia tinggal, sekarang makin marak akan kasus kenakalan remaja. Kawasan yang dikelilingi oleh bukit ini, belakangan menjadi lokasi strategis bagi pengguna, maupun transaksi narkoba. Dia berharap melalui PAUD yang dikelolanya, penanaman etika dan akhlak pada usia dini bisa mengantisipasi bahkan menanggulangi hal meresahkan tersebut.
Ketika bercerita tentang keadaan remaja di kampungnya, Sulis semakin nelangsa. Ia teringat kejadian yang menimpa anaknya yang kedua, saat memasuki jenjang pendidikan sekolah menengah atas. Kala itu tinggal beberapa bulan lagi seharusnya anaknya lulus. Secara tiba-tiba malah memutuskan berhenti melanjutkan pendidikannya. Mantan buruh migran itu menduga, anaknya terpengaruh oleh pergaulan teman sebaya.
“Dia saya sekolahkan ke luar kota. Sewaktu libur sekolah dia pulang, cuma seminggu di rumah, dia langsung berubah,” kata Sulis agak geram.
Ketika Sulis berangkat turut menyusul suaminya bekerja di luar negeri, sang anak diakuinya memang kurang perhatian dan pengawasan. Sehingga rentan larut ke dalam hal negatif. Meskipun sudah diasuh oleh nenek, baru kini ia merasa jika hal itu tidaklah cukup.
Kejadian yang dialami oleh Sulis, hanya pecahan mozaik kecil dari ratusan keping kasus anak TKI. Sebagaimana perkara yang pernah ditangani oleh Widi Hariyanto, ketua Migrant Center Tulungagung, anak buruh migran relatif rawan akan potensi kenakalan remaja. Di antaranya narkoba, putus sekolah dan hamil di luar nikah.
“Faktor yang dapat mendorong terjadinya hal negatif pada anak, yaitu kebiasaan nongkrong dan pengaruh teman sebaya,” kata Hari.
Hari menambahkan, berangkatnya orang tua ke luar negeri memang memberi dampak sistemik, utamanya soal anak. Sementara pemerintah tidak bisa sepenuhnya menghentikan keberangkatan buruh migran begitu saja. Mengingat, TKI saat ini sudah jadi komoditas.
Pendapat Hari soal pengaruh kawan sebaya, sejalan dengan teori psikologi yang berkembang. Lingkungan dan teman sebaya sangat dominan dalam mempengaruhi sikap dan perilaku anak. “Remaja, ketika masa pencarian jati diri pada usia 12-18, keputusan dan sikap mereka ada kecendrungan dipengaruhi oleh peer group-nya,” ujar Hanis Ribut Makasara, Staf Bidang Penelitian Laboratorium Psikologi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri. “Peer group ini dalam bahasa sehari-hari dikenal sebagai teman sebaya,” lanjutnya.
Lebih jauh Hanis mengatakan, kelompok teman sebaya dengan pengaruh positif, akan mampu meningkatkan motivasi belajar, kemandirian, dan rasa solidaritas. Sebaliknya, kelompok teman sebaya yang membawa hal negatif akan membuat anak abai pada pendidikan. Seringkali cenderung pada perilaku menyimpang. Bagaimana cara orang tua mengarahkan pergaulan anak pada kelompok teman sebaya yang tepat, akan menentukan bagaimana anak berkembang.
Anak buruh migran memang tidak bisa merasakan kasih sayang langsung dari orang tuanya. Namun Hanis tak sepenuhnya sepakat, anggapan semua anak TKI bermasalah bisa dipukul merata. Dari beberapa hasil pengamatannya di lapangan, tidak sedikit anak TKI yang malah menunjukan perilaku positif, bahkan berprestasi. Asalkan, dibalut oleh pola asuh dan teman sebaya yang tepat.
Pentingnya pengawasan dan penanaman akhlak pada anak, disadari betul oleh Purbayanti. Wanita yang juga tinggal di Desa Pagersari ini, baru saja ditinggal sang suami merantau ke Malaysia. Dibantu ibunya, Nur Hidayah, untuk menambal kebutuhan sehari-hari, mereka merajut kain-kain bekas untuk dijadikan keset, kemudian dijual ke pengepul tak jauh dari desanya.
Anak pertama Purbayanti, kini duduk di bangku sekolah menengah atas, sedangkan yang kedua di sekolah menengah pertama. Sementara yang ketiga baru beberapa bulan ini masuk sekolah dasar. Dia sendirian mengawasi ketiga anaknya sepeninggal suami bekerja ke Malaysia.
Untuk membentengi anak-anaknya dari pengaruh negatif, solusi yang dia tempuh yaitu mewajibkan anaknya untuk memperdalam ilmu agama. Saat petang tiba, anak-anaknya rutin mengaji di madrasah dekat rumah.
“Sebagai orang tua tentu saya khawatir, apalagi pergaulan remaja di kampung sini juga cukup parah,” ungkapnya. Agar terhindar dari perilaku menyimpang, dia membiasakan anak-anaknya untuk bersikap lebih terbuka. Semua yang dilakukan oleh anaknya wajib ia ketahui.
Potret anak dengan perhatian yang minim dituturkan pula oleh Abdul Mukhosis. Pemuda asal Desa Pakisaji, Kecamatan Kalidawir, Kabupaten Tulungagung ini, sehari-hari bekerja sebagai tenaga pengajar honorer di Madrasah Ibtidaiyah Nurul Huda. Belajar dari pengalamannya selama mengajar, ia mengatakan, secara sikap anak-anak TKI tersebut memang berbeda.
“Ketika saya tiba di sekolah, beberapa anak langsung memeluk saya, itu setiap hari. Setelah saya tanya, ternyata mereka ditinggal ayahnya berkerja ke luar negeri,” kata Khosis, pemuda yang juga aktivis lingkungan ini.
Khosis pun tidak begitu yakin, anak-anak TKI di kampungnya mendapat bimbingan belajar ketika di rumah. Untuk itu, ia membuka perpustakaan untuk memfasilitasi anak-anak belajar. Saat sore hari, puluhan anak memenuhi ruang tamu dan halaman rumahnya. Mereka datang biasanya untuk membaca buku atau mengerjakan tugas dari sekolah. “Kepedulian pada perkembangan anak seharusnya menjadi tanggung jawab kita bersama,” imbuhnya. (Kholisul Fatikhin)