JIKA melintas jalan utama dari kawasan Sambi menuju Kras, Kabupaten Kediri, sempatkan menoleh ke kanan. Tak jauh dari barat perempatan Desa Srikaton, Kecamatan Ringinrejo, tampak sebuah rumah yang dipenuhi tumpukan sepeda. Ribuan pit dari segala varian itu menyesaki segala penjuru ruangan. Baik di halaman depan dan pekarangan belakang, ruang tamu, dapur, hingga kamar tidur.
Timbunan kereta angin yang sampai menyentuh langit-langit rumah itu, milik Purwanto, pria kelahiran 1963, asli Desa Bendosari, Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri. Di kampung halaman ini pula, ia mengaku, masih punya satu gudang lagi. Kumpulan sepeda jenis turonggo atau onthel, sebagian besar tersimpan di sana.
“Tidak ada niatan mengoleksi, semuanya sengaja saya kumpulkan untuk dijual kembali,” kata laki-laki yang akrab disapa Mbah Pur itu di rumahnya pada Senin, 28 Juni 2020.
Mbah Pur menawarkan dagangannya dengan nilai yang beragam, tergantung kondisi pit, merek, dan varian. Mulai harga ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah. Selain unit sepeda, penjualan onderdil, spare part, serta aksesoris kerap jadi sumber keuntungan bisnis.
Hasil usaha yang kian melimpah, ia raih selama tujuh belas tahun bersusah payah. Petualangan Mbah Pur jadi pialang sepeda bekas diawali di pasar Ngunut, Kabupaten Tulungagung. Bermodal beberapa ekor ayam jago peliharaan, yang dia tukar dengan enam onthel lawas. Seperti keluaran Philips, Batavus, Simplex, Raleigh, dan Humber.
Belum lama berselang, usaha tukar guling sepeda klasik merambah ke tipe-tipe premium. Antara lain, Gazelle, Fongers, dan Sunbeam. Bahkan, ranah perburuannya semakin luas. Sembari menjelajahi pasar-pasar, ia membangun relasi di pelosok Kediri, Tulungagung, dan Blitar.
Tak hanya menggeluti roadster bike saja, kakek satu cucu ini mulai mengepul sepeda modern di tahun kelima melalang buana. Kesempatan itu datang saat mendapat permintaan ratusan Jengki. Setiap bulan, rata-rata dikirim ke luar pulau Jawa, seperti Kalimantan dan Sumatera.
Baca juga:
Merakit Sepeda dari Limbah untuk Berziarah ke Makam Marsinah
Menurut pemilik julukan “Laken”, merujuk pada warna kulit Mbah Pur yang gelap seperti topi laken, sepeda bukanlah dagangan yang bisa laku sepanjang waktu. Bila sepi pelanggan, seringkali ia malah menjual sisa-sisa potongan sepeda ke tengkulak besi tua.
“Ramainya penjualan sepeda itu hanya terjadi setelah musim lebaran saja,” katanya. Terutama masa Idul Fitri tahun ini yang dirayakan di tengah pandemi.
Awalnya, Mbah Pur mengira bakal kehilangan pelanggan karena ketimpangan sektor ekonomi masyarakat akibat virus corona. Pada akhirnya dia tidak bisa menyangkal, pageblug justru kian mengangkat pamor sepeda pancal.
Banjir permintaan pada lebaran kali ini, sempat membuat semua pedagang sepeda kehabisan stok. Di gudang persediaan milik Mbah Pur, puluhan pit produksi Cina seperti Pacific, Exotic, dan Aviator, telah ludes terbeli. Fenomena gandrung gowes yang menggeliat, turut meningkatkan penjualan seri sepeda balap, gunung, dan lipat. Frame tipe mini ukuran roda 20 dan 24 Inchi juga paling banyak dicari, khususnya bagi para pencinta sepeda modifikasi.
Mbah Pur belum berencana mengembangkan usaha jual-beli dan tukar-tambah secara daring. Sepanjang hari, dia masih rutin hunting dari pasar ke pasar, sementara supermarket printilan sepeda dikelola Sriyanah, istrinya. Sebelum kembali pulang, ia biasanya akan mengunjungi lapaknya lebih dulu. Sebuah kios mungil di pasar loak di sebelah timur Kantor Polsek Kepanjen Kidul, Blitar. (Naim Ali)