Minggu, 12 November 2017, markas Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kediri di Jalan Adi Sucipto Nomor 15B, Kelurahan Banjaran, Kota Kediri, Jawa Timur, terlihat ramai. Para perupa seni mural, sudah berkumpul sejak pagi. Mereka datang menenteng piranti menggambar dan beragam jenis cat beraneka warna.
Para seniman yang menyumbangkan karyanya ke dinding-dinding kantor AJI Kediri menandai gerakan itu dengan “Kediri Mural Movement”. Bentang tembok seluas sekitar 50 meter dimural secara keroyokan oleh Dodoth F. Widodo Putra, Fahma Ainu (Panjalu Rebel Arts); Dandhy Ardi, Lutfi, Mangun (Kediri Arts Project); Ahmad Rifa’i, Haris (Remaja Sopan); Chiki (Casak Clan).
“Mural ini selain untuk mempercantik lingkungan kantor kami, juga untuk mengkampanyekan pesan antihoax,” kata Aguk Fauzul, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kediri periode 2017-2020.
Kegiatan ini merupakan agenda pertama pengurus baru AJI Kediri, hasil konferensi anggota pada 15 Oktober 2017 di aula Dhoho TV yang dihadiri Arfi Bambani, Sekretaris Jenderal AJI Indonesia. Selain menyusun kepengurusan, juga program kerja yang akan dilaksanakan hingga tiga tahun ke depan.
Sudah lebih dari satu dekade bendera AJI Kediri berkibar. Berdirinya organisasi profesi para jurnalis dari berbagai media ini bermula dari diskusi kecil saling tukar ide dan gagasan. Emper kantor Pos dan Giro Kota Kediri di tepi Sungai Brantas hingga trotoar Jalan Dhoho, pernah menjadi shelter awal mereka. Mereka mentabulasi kegelisahan ke dalam forum diskusi jalanan. Sembari makan nasi pecel dan minum wedang ronde, kerumunan para jurnalis membahas pertumbuhan geliat pers di Indonesia tiap petang hingga larut malam.
Diskusi yang dilakukan secara masif dan terus-menerus itu akhirnya menemui ujung. Rabu, 22 Februari 2006, pukul 24.00 WIB, di Perumahan Wilis Indah II Blok H-Raya 22 Kediri, disepakati terbentuknya Panitia Persiapan Pendirian Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kediri. Saat itu jurnalis yang hadir sebanyak 26 orang. Tiga orang yang hadir, yaitu Hamluddin (wartawan Harian Surya), Yusuf RH Saputro (wartawan Lativi), dan Andrean Sunaryo (wartawan Radar Tulungagung), terpilih menjadi koordinator kepanitiaan persiapan deklarasi AJI Kediri.
Sedangkan untuk perencanaan program dan kekuatan hukum dilakukan oleh tim besar yang terdiri dari: Edi Purwanto (wartawan Sindo), Miftahul Arif (wartawan ANTV), Nur Salam (wartawan Trans TV), Hari Tri Wasono (wartawan Lativi), Miftahul Huda (wartawan Liiur FM), Danang Sumirat (wartawan SCTV), Khoirul Abadi (wartawan RCTI), Ermawan Wahyu Aji (wartawan JTV), Afnan Subagio (wartawan Global TV), Budi Sutrisno (wartawan SCTV), M. Choirur Razaq (wartawan Radar Tulungagung), Destian Handre (wartawan Radar Tulungagung), Muchtar Efendi (wartawan RWS FM), Abdul Azis Wahyudi (wartawan Radar Tulungagung), Fendi Lesmana (wartawan Rek Ayo Rek), Joko Wiyono (wartawan Global TV), Beni Kurniawan (wartawan TPI), Wahid Nasiruddin (wartawan Harian Bangsa), dan Abdul Hakim (wartawan Radar Kediri).
Belakangan, beberapa jurnalis yang turut mendeklarasikan AJI Kediri, ada yang pindah tugas ke kota lain tapi tetap menjadi anggota AJI, beralih profesi, undur diri karena mendirikan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Kediri, dan ada juga yang menjadi Ketua PWI Nganjuk. “Tapi kami terus berkawan, bekerjasama mengembangkan ide-ide positif di bidang jurnalistik,” kata Hari Tri Wasono, yang pernah menjadi Ketua AJI Kediri periode kedua.
Rapat pembentukan tahun 2006 itu, diawali sosialisasi tentang visi-misi AJI secara mendalam. Fokus kajian ditujukan pada persoalan ideologi dan kinerja pers, serta spirit antiamplop atau kerap disebut sebagai semangat “say no to envelope”. Bertindak sebagai narasumber saat itu, Dwidjo U. Maksum (wartawan Tempo) dan Ahmad Amrullah (wartawan Metro TV). Runik Sri Astuti (wartawati Kompas) juga datang sebagai peninjau.
Setelah melalui proses dialog secara aktif selama kurang lebih 3 jam, 26 orang jurnalis yang hadir mencapai kata sepakat. Mereka memandang perlu didirikannya AJI di Kediri. Selain sebagai organisasi profesi juga sebagai wadah perjuangan, advokasi, serta serikat pekerja pers di Kediri.
Proses perjuangan yang cukup melelahkan sudah dilampaui. AJI Kediri resmi dideklarasikan. Setelah melalui Konferensi Pemilihan dan Pembentukan Pengurus AJI Persiapan Kediri Periode 2006-2009 pada Sabtu, tanggal 1 April 2006, Dwidjo U. Maksum terpilih menjadi Ketua AJI Kediri pertama. Di acara tersebut, Abdul Manan selaku Sekretaris Jenderal AJI Indonesia saat itu, juga turut hadir.
“Saya masih ingat dan terus berusaha mengingat peristiwa lahirnya AJI di Kediri itu, karena kamera saya yang berisi foto-foto deklarasi hilang di kereta saat perjalanan pulang dari Kediri,” kata Abdul Manan.
Kantor AJI Kediri setelah remi berdiri terletak di Perumahan Griya Indah Permatasari Blok E-44
Jl. Penanggungan, Bandar Kidul, Mojoroto, Kota Kediri. Sejatinya itu merupakan kantor bayangan karena saat itu belum mampu mengontrak kantor. Rumah itu kini digunakan sebagai kantor redaksi Kediripedia.com.
Dari hasil saweran para anggota, AJI Kediri akhirnya mampu mengontrak rumah sebagai markas, kantor, dan tempat diskusi. Dari Jalan Donayan, Kelurahan Semampir; pindah ke Ruko Stadion Brawijaya, lalu ke kawasan Banjaran. Sejak empat tahun lalu, AJI Kediri menempati sebuah rumah di Jalan Adi Sucipto, Kota Kediri. Rumah itulah yang kini sedang dimural olah para seniman.
“Sampai hari ini saya tetap setia menjaga AJI Kediri, karena saya sudah menganggap AJI sebagai rumah kedua saya dimana saya bisa terus belajar dan mengembangkan gagasan baik buat para jurnalis muda,” kata Budi Sutrisno yang kini mengabdikan diri sebagai Produser Dhoho TV.
Kenangan, semangat, jalan hidup, mungkin juga harapan, pernah mewarnai ruang-ruang di dalamnya. Hidup atau matinya sebuah rumah tegantung pada siapa yang menghuni. Dan rumah ungu di Jalan Adi Sucipto Nomor 15B yang kini menjadi markas AJI Kediri, seperti goresan mural di dinding. Penuh pesan, ajakan, dan kearifan untuk memperjuangkan sesuatu.
“Rumah, seperti halnya sejarah: menyimpan jejak orang-orang yang pernah singgah,” kata Dwidjo U. Maksum, yang kini didaulat menjadi Majelis Etik AJI Kediri dan Majelis Etik AJI Nasional. (Kholisul Fatikhin)