SECARA topografi, lanskap alam Desa Geger, Kecamatan Sendang, Kabupaten Tulungagung, merupakan kawasan pegunungan dengan ketinggian 1050 Mdpl. Sekitar seratus lima puluh tahun lalu, daerah ini pernah menjadi salah satu pemasok komoditas teh dunia di bawah bendera Verenigde Oost-Indische Compagnie atau VOC. Kolonial Belanda menyebut teh produksi Desa Geger dengan nama Teh Penampihan.
Sayangnya, areal kebun teh mengalami alih fungsi besar-besaran sejak tahun 2007. Dari total luas 400 hektar, kini tumbuhan dengan nama latin Camellia sinensis di lereng tenggara Gunung Wilis hanya tersisa 2 hektar saja.
Kondisi itu bermula pada tiga belas tahun silam, ketika warga ramai-ramai mencabut tumbuhan teh untuk digantikan sayuran seperti wortel, sawi, cabai, dan kol. Peristiwa itu sekaligus menandai lenyapnya kejayaan industri Teh Penampihan Tulungagung.
“Di saat yang hampir sama, pabrik teh yang dibangun Kolonial Belanda juga dibongkar,” ujar Kristiana, salah seorang penjual teh di Desa Geger, Minggu 30 Agustus 2020.
Dia bercerita, kawasan pabrik seluas lapangan sepak bola itu sekarang digunakan sebagai taman. Di sebelah utara taman terdapat cerobong perapian tinggalan Belanda. Konstruksi itu adalah saksi bisu jika teh pernah berjaya di Desa Geger. Terbuat dari susunan batu beton, bangunan tersebut satu-satunya tinggalan sejarah yang gagal dirubuhkan.
Kala itu, pabrik ditutup karena kondisi bisnis teh tengah menurun tajam. Harga jual tak stabil membuat perusahaan yang dikelola Puskopad Kodam V Brawijaya gulung tikar. Warga Desa Geger juga merasa bahwa komoditas teh sudah tidak bisa lagi menjadi andalan utama perekonomian.
Kristiana melanjutkan, ratusan warga berunjuk rasa usai pabrik berhenti produksi. Mereka menuntut agar lahan perkebunan dapat dibeli dan dimanfaatkan untuk tanaman lain. Alhasil, kini selain sayuran lahan sisa kebun teh ditanami rumput gajah sebagai pakan ternak sapi perah.
“Warga terpaksa mengganti teh menjadi sayuran demi memperbaiki ekonomi,” kata perempuan yang membuka kedai teh di dekat Candi Penampihan itu.
Merosotnya industri teh sebenarnya bukan terjadi sekali ini saja. Bila menengok sejarah, masa kejayaan teh sebenarnya sudah menurun bahkan sebelum era kemerdekaan. Data dari Arsip Nasional Republik Indonesia atau ANRI menyebutkan, melemahnya komoditas teh terjadi sejak tahun 1932 atau di masa kolonial.
Produksi yang berlebihan mengakibatkan harga semakin merosot. Kondisi itu semakin parah, ketika di pasaran Eropa komoditas teh kalah dengan gula dan kina yang naik daun. Situasi krisis tersebut bukan hanya dialami Belanda, tapi juga negara penghasil teh lainnya di seluruh dunia.
Di ambang kehancuran, Pemerintah Hindia Belanda lalu menyerahkan sepenuhnya pengelolaan perkebunan teh kepada pihak swasta. Peristiwa ini berlangsung hingga masa Indonesia merdeka. Memasuki tahun 1950-an, nasionalisasi terhadap lahan-lahan teh milik Belanda mulai dilakukan.
Peralihan kepemilikan dari perusahaan asing menjadi aset negara, salah satunya dialami perkebunan Teh Penampihan di Kabupaten Tulungagung. Setelah adanya nasionalisasi, nasib lahan teh ternyata tak kunjung membaik. Bahkan, kini hampir sepenuhnya lenyap.
Beruntung, ada segelintir warga Desa Geger seperti Kristiana yang masih mempertahankan kebun teh. Sejauh ini Teh Penampihan tetap diminati, meski tak seramai dulu.
“Pesanan biasanya datang dari sejumlah warung di Tulungagung, ada juga dari Surabaya tapi tidak banyak,” kata Kristiana.
Menurutnya, secara kualitas Teh Penampihan merupakan yang terbaik di Tulungagung. Ketika diseduh, teh Penampihan memiliki cita rasa unik. Rasanya cenderung asam seperti teh bunga rosella yang banyak tumbuh di sekitar lereng Gunung Wilis.
Setiap satu ons Teh Penampihan dijual dengan harga 10 ribu rupiah. Cukup murah dibandingkan teh-teh yang beredar di pasaran. Sangat disayangkan jika sekarang hanya tinggal 2 hektar lahan saja.
Selain Kristiana, warga yang mempertahankan tanaman teh di lahan pribadinya yaitu Winartin. Secuil kebun garapannya berlokasi tepat di samping Candi Penampihan, tak jauh dari tanah milik Kristiana.
“Tanamannya biar tetap teh saja, saya tidak akan menggantinya,” kata Winartin.
Wanita yang bekerja sebagai Juru Pelihara Candi Penampihan itu sebenarnya merasa kecewa karena perkebunan teh semakin sempit. Dia bertekad untuk terus merawat dan mempertahankan lahan teh miliknya. Dengan begitu, masih terbuka kesempatan bagi orang-orang yang ingin mencicipi nikmatnya teh yang ditanam di lereng Gunung Wilis. (Kholisul Fatikhin)
Discussion about this post