Pengantar Redaksi:
Perjalanan panjang Kediri melahirkan banyak hal yang kelak mengawali keberlangsungan sejarah berikutnya. Seperti arus sungai yang susul-menyusul, sejarah Kediri bergerak dalam lapisan-lapisan tebal, panjang, kerap tak saling berhubungan. Salah satu noktah yang turut mewarnai peradaban yang beragam itu adalah sosok Tan Khoen Swie, lelaki Cina yang turut memahatkan keniscayaan berubahnya tradisi lesan ke dalam tradisi tulis. Bagaimana sepak terjang Tan di semak-belukar sejarah Kediri, Dwidjo U. Maksum melakukan penelusuran yang kemudian diracik secara bersambung untuk para pembaca kediripedia.com di manapun berada.
Tan Khoen Swie datang ke Kediri dari daerah Jawa tengah dengan berjalan kaki. Kemudian ia menikah dengan gadis asal Surabaya bernama Liem Gien Nio. Setelah menikah, dia mencoba memulai usaha sebagai penerbit. Saat itu bisnis penebitan tak bisa diandalkan karena ketatnya aturan pemerintah kolonial tentang usaha penerbitan.
Pilihan terjun ke dunia penerbitan bukan tanpa alasan. Selain punya hobi menulis, Tan juga senang berdiam diri berbulan-bulan di tempat-tempat keramat. Karena kesenangannya itu, banyak orang menganggap dia memiliki kemampuan supranatural, bahkan mampu menyembuhkan berbagai penyakit.
“Berdasarkan penelusuran kami, sejatinya kemampuan supranatural yang dimiliki Tan Khoen Swie diperoleh dari membaca buku,” kata Kusharsono, pensiunan pegawai Pemerintah Kota Kediri yang pada tahun 2002 ditunjuk pemerintah menjadi Ketua Tim Penelusuran Sejarah Tan Khoen Swie.

Namun, Gani yakin Tan Khoen Swie memang memiliki kemampuan supranatural. Hal ini terbukti ketika dia bersama dua rekannya, KH Fatah (Tulungagung) dan seorang peranakan Cina Kediri ditangkap tentara Jepang karena kegiatannya melawan pemerintah kolonial. Ketiga orang itu bisa lolos dari tahanan setelah mengalami penyiksaan luar biasa. Saat itu anus ketiga orang itu dipompa dan disuruh menjilati pipa besi yang membara. Ternyata semua siksaan tersebut tak mengakibatkan kesakitan apapun. “Karena tak mampu memberi siksaan lagi, ketiganya dilepas oleh tentara Jepang,” kata Gani.
Namun, soal penerbitan dan urusan supranatural adalah dua hal yang berbeda. Menurut Gani, tentang penerbitan, kakeknya menggunakan pendekatan bisnis dan perjuangan untuk menyebarkan ide-ide. Sedangkan kemampuan supranatural tak berkait dengan gerak penerbitan. “Soal kebatinan dan supranatural lebih merupakan urusan pribadinya. Jadi sesungguhnya Tan Khoen Swie bukan paranormal,’ kata Gani.
Kegemaran Tan bertapa dan menyendiri sempat membuat cukup repot dan marah istrinya. Untuk mengendalikan pengembarannya, dibuatlah tempat bertapa di belakang rumahnya. Maksudnya agar Tan Khoen Swie bisa dekat keluarga. Bangunan itu kini masih ada. Bentuknya setengah lingkaran dengan ornamen lobang yang di kiri kanannya dilengkapi patung-patung kecil.
Menurut Gani, ada ciri khusus yang dianut Tan selama hidupnya, yaitu memelihara rambut panjang dan berkumis tebal. Menurut penuturan Tan Khoen Swie pada anak-anaknya, rambut gondrong itu merupakan pertanda, bahwa dia dan kelompoknya secara politik menentang penjajah, mulai kolonialis Belanda hingga Jepang. “Anda bisa lihat foto-foto lama, hampir semuanya yang terlibat dalam aktivitas penerbitannya berambut gondrong,” kata Gani.
Hal ini dibenarkan Kusharsono. Berkumis tebal dan berambut gondrong merupakan bentuk perlawanan orang Cina terhadap kekejaman penjajahan Jepang dan Belanda. “Itu merupakan gerakan bersama dan dilakukan diam-diam,” kata Kusharsono. (Dwidjo U. Maksum) bersambung ~~~
Tulisan selanjutnya: MELAWAN TIRANI PENJAJAH DENGAN BUKU (Tulisan IV)