SETELAH tiga hari tiga malam menikmati Kota Jaipur dan sekitarnya, kami berangkat menuju salah satu keajaiban dunia di Agra: Taj Mahal.
Tidak seperti perjalanan dari kota ke kota di Jawa atau Sumatera, Jaipur-Agra hanya menyuguhkan kegersangan. Kita tidak akan menemukan hijaunya aneka pepohonan. Hanya perdu dan alang-alang. Tetapi burung-burung jalak yang indah, beraneka jenis, akan kita temukan di mana pun kita berhenti.
Taj Mahal berada di Agra, negara bagian Uttar Pradesh. Jarak dari Jaipur ke Agra sekitar 250 km, membutuhkan waktu lima jam perjalanan darat. Waktu tempuh menjadi lebih lama dari perkiraan karena kami sering berhenti di banyak tempat.
Kami tiba di Agra saat menjelang senja. Kami akan ke Taj Mahal besok pagi-pagi sekali, agar dapat menikmatinya sehari penuh. Sore ini kami menghabiskan waktu untuk blusukan ke pasar dan cuci mata di kompleks pertokoan.
Berbeda dengan pasar di Indonesia yang dikuasai oleh kaum perempuan, pasar di India adalah milik kaum laki-laki. Nyaris tidak ada pedagang perempuan. Para pembeli pun kaum laki-laki. Jarang sekali saya bersua dengan mbak-mbak atau ibu-ibu. Rupanya kaum perempuan, secara adat, harus tinggal di rumah mengurus anak-anak dan rumah. Dunia di luar rumah adalah dunia kaum laki-laki.
Dalam hal relasi kaum lelaki-perempuan, rupanya India belum banyak berubah. Pernikahan berdasarkan perjodohan oleh orang tua masih banyak terjadi. Mayoritas perempuan India menikah sebelum mencapai usia 18 tahun. Namun demikian angka perceraian terhitung cukup rendah.
Keesokan harinya, sehabis Subuh, kami bersiap-siap berangkat. Udara begitu dingin, di bawah 10 derajat Celcius, tapi kami semua sangat bersemangat. Tidak perlu menunggu sarapan di resto hotel, cukup segelas Masala Chai panas dan sepotong roti.
Tepat pukul 7 kendaraan yang kami sewa memasuki halaman kompleks Taj Mahal. Ternyata sudah cukup banyak pengunjung yang datang, menunggu pintu gerbang dibuka.
Pada sebuah catatan yang ditempel di dinding penjualan tiket, dilaporkan bahwa jumlah pengunjung rata-rata mencapai 10.000 – 15.000 orang per hari. Di akhir pekan bahkan bisa menembus angka 70.000 orang. Taj Mahal benar-benar menjadi ikon pariwisata India.
Begitu kami turun dari mobil, wajah-wajah ramah menyapa kami. “Assalamualaikum … Indonesia?”. Ada juga yang salah menebak, “Assalaimualaikum … Malaysia?”. Kami cuek saja, tidak menanggapi. Itu sesuai pesan agen travel kami. “Begitu Anda menjawab salam mereka, maka mereka akan terus menguntit ke mana pun Anda melangkah sambil menawarkan barang dagangan berupa souvenir, sampai Anda membelinya”.
Pemeriksaan oleh petugas keamanan berlangsung sangat ketat. Betul-betul ketat, seperti mau masuk ke instalasi militer. Para petugas itu adalah personil militer bersenjata otomatis, tatapan matanya tajam penuh kecurigaan, memelototi saya mulai dari ujung kaki hingga ujung kepala. Eh, apa tampang saya seperti penjahat?
Mereka melarang saya membawa tripod masuk ke kompleks Taj Mahal. Wah, padahal saya sudah bersiap melahirkan foto-foto berkelas Pulitzer Prize! Terpaksa saya menitipkannya di luar. Saya agak jengkel dengan hal ini. Pakai tripod saja hasil jepretan saya belum tentu bagus, apalagi tanpa tripod!
Seperti apakah Taj Mahal itu, sehingga pada 1983 UNESCO memasukkannya ke dalam daftar Situs Warisan Dunia, dan mendapat predikat sebagai salah satu dari 7 keajaiban dunia? Saya kira saya tidak akan mampu menggambarkannya secara memadai.
Adalah Shah Jahan, Sultan kekaisaran Mughal, yang membangunnya sebagai mausoleum untuk mengenang istri ketiganya, Mumtaz Mahal. Perempuan itu meninggal saat melahirkan anak ke 14-nya, pada tahun 1631. Jadi, di dalam Taj Mahal inilah sang istri dimakamkan. Kelak ketika sang Sultan wafat juga dimakamkan di situ, tepat di sisi makam istrinya.
Untuk menyelesaikan bangunan megah ini dibutuhkan waktu 22 tahun (1632-1653). Para pekerja berasal dari seluruh penjuru negeri, juga dari Asia Tengah dan Iran, total-jendral mencapai 22.000 pekerja. Selain itu, untuk mengangkut material berat, diperbantukanlah 1.000 ekor gajah.
Keindahan dan keagungan tak henti terpancar dari bangunan megah yang terbuat dari marmer putih itu. Keelokannya disempurnakan dengan hiasan sekitar 43 jenis batu permata seperti nilam, topaz, kristal, dan berlian. Marmer putih dengan kualitas nomor satu tersebut didatangkan dari Rajasthan, Afghanistan, Tibet, dan Tiongkok.
Kompleks Taj Mahal terletak di tepi sungai Yamuna, luasnya mencapai 42 hektar, terbagi menjadi 5 bagian. Bangunan utama berupa kubah besar setinggi 73 meter, dikelilingi 4 kubah yang lebih kecil. Di kanan-kiri bangunan utama yang berwarna putih itu terdapat dua bangunan kembar yang berwarna merah bata, salah satunya adalah masjid.
Arsitek Taj Mahal adalah Ahmed Lahauri. Dia mendasari desain maha karyanya dengan merujuk pada replikasi dan simetri dalam geometri. Oleh karenanya Taj Mahal diakui sebagai bangunan paling simetris di dunia. Struktur bangunannya memiliki empat sisi yang identik sempurna.
Taj Mahal juga menjadi saksi nasib malang Shah Jahan di akhir hayatnya. Dua orang anaknya, Dara Shikoh dan Aurangzeb, berselisih memperebutkan tahta. Shah Jahan memihak Dara Shikoh, tetapi akhirnya Shikoh tewas di tangan Aurangzeb. Seusai membunuh saudaranya, Aurangzeb menggulingkan kekuasaan sang ayah pada 1658 dan memenjarakannya seumur hidup di Benteng Agra.
Kami berfoto sepuasnya, di berbagai penjuru Taj Mahal. Banyak fotografer freelance yang kerjanya hanya menguntit wisatawan, mengambil gambar si wisatawan, dan nanti menjelang pulang minta bayaran.
Nara dan ibunya mengenakan sari. Dalam balutan kain yang cemerlang itu, kecantikan mereka semakin istimewa. Saya cukup mengenakan baju lurik dan udheng Pendalungan yang saya bawa dari rumah.
“Anda orang Tibet?”, tanya seorang fotografer.
“Mengapa Anda mengira saya orang Tibet?”, saya balik bertanya.
“Hanya menduga. Pakaian dan ikat kepala Anda terlihat indah dan tradisional, mengingatkan saya pada pakaian orang-orang Tibet”.
“Saya dari Indonesia”.
“O, pantas saja. Orang Tibet tidak ada yang seganteng Anda”. (Dr. M. Ilham Zoebazary, M.Si, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember)
Baca juga:
Pink City, Eksotika dan Kemiskinan—The Journey to India 1
Perempuan-perempuan Cantik di Istana Angin—The Journey to India 2
Sebuah Kampung di Pink City—The Journey to India 3
Mere Dil Mein Pyaar Hai: Sampai Jumpa Lagi, India—The Journey to India 5
Discussion about this post