BERBAGAI jenis tasbih kayu menghiasi pemandangan teras sebuah rumah di Dusun Jurangwuluh, Desa Kedawung, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri. Mulai dari tasbih cendana, stigi, jenitri, sawo, galih asem, dan nogosari ditempelkan di dinding, pintu, serta jendela. Sedangkan puluhan tasbih lainnya ditata rapi di lemari kaca berukuran 2 meter.
Usaha kerajinan tasbih di Dusun Jurangwuluh itu sehari-hari dikelola oleh Siti Bidayah. Perempuan berusia 70 tahun ini sudah menggeluti usaha yang dinamai Kerajinan Jaya Abadi itu sejak 1973. Selama hampir setengah abad, dia menekuni bisnis produksi alat penghitung jumlah wirid dalam agama Islam itu hingga menembus pasar ekspor mancanegara seperti Arab, Cina, dan Jepang.
“Dulu hampir semua warga di desa ini berbisnis tasbih, tapi kini perajin yang bertahan hanya beberapa saja, termasuk saya,” ujar Siti Bidayah saat dijumpai di rumahnya, Selasa, 27 September 2022.
Ibu 6 anak itu menambahkan, dulu Jurangwuluh terkenal sebagai kampung tasbih. Pada tahun 1990 hingga 2000an, ratusan warga pernah menggantungkan hidup dari membuat tasbih secara manual. Dengan alat bubut sederhana, mereka beramai-ramai mengolah lembaran kayu menjadi potongan kecil, diukir, lalu dihaluskan menjadi biji-biji tasbih.
Kisah awal desa di kaki Gunung Wilis menjadi sentra tasbih tak terlepas dari keberadaan Pondok Pesantren Ploso. Sebagai alat beribadah, ribuan santri tentu membutuhkan tasbih. Warga sekitar pesantren lalu berinisiatif membuat tasbih untuk dijual. Pembuatan tasbih ini kemudian berkembang menjadi komoditas hingga ke pasar ekspor.
Sayangnya, masa keemasan itu telah lewat. “Satu per satu perajin tradisional gulung tikar tergusur tasbih buatan mesin,” kata Bidayah.
Tasbih tradisional kini juga tergeser modernisasi lewat munculnya tasbih digital. Sistem digital menggantikan fungsi bulir-bulir tasbih. Bahkan, hitungan wirid atau dzikir dengan patokan tertentu seperti 100 hingga 1000 menjadi semakin akurat berkat adanya teknologi.
Namun, konsumen dari Kediri maupun luar daerah masih menjadikan kawasan Jurangwuluh sebagai destinasi mencari tasbih terbaik. Setiap kayu yang dijadikan bahan membuat tasbih memiliki keunikan dan manfaat masing-masing.
“Tasbihnya unik, harganya murah, dan awet,” ujar Mustafid, salah seorang pembeli.
Masih adanya konsumen seperti Mustafid membuat Bidayah enggan mengatakan jika tasbih Jurangwuluh sepenuhnya mati. Hingga kini, dia masih menerima order dari konsumen walau pesanan walau memang tak sebesar dahulu. Usahanya yang bernama Kerajinan Jaya Abadi sempat dipakai oleh perajin lain di Kediri pada 2017. Dia lantas berjuang agar Hak Kekayaan Intelektual berupa nama brand itu kembali menjadi miliknya, meski harus bersusah payah mengurus hingga ke Jakarta.
Dengan kondisi yang kini sepi, Bidayah bisa saja sewaktu-waktu menutup usahanya. Namun, dia tidak rela jika tasbih Jurangwuluh yang sudah dikenal itu hilang. Nenek itu berupaya tetap menekuni pembuatan tasbih meski penghasilan yang diperoleh tidak seberapa. Dia meyakini, di balik usaha ini ada sisi ada kepuasan spiritual yang luar biasa. Setiap butiran tasbih mengandung berkah karena digunakan untuk beribadah. (Diski Maulana, Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Kediri, sedang magang di Kediripedia.com)
Discussion about this post