SEJARAH mencatat, keris turut mewarnai fragmen peristiwa di masa lampau. Kisah tentang Arya Penangsang misalnya. Konon, ketika bertarung melawan Sutawijaya, ususnya terburai akibat tikaman tombak. Bersikeras tak mau kalah, usus yang keluar dia lilitkan pada gagang keris dan terus melawan. Namun sial, berniat menghabisi Sutawijaya, ususnya malah terpotong saat mencabut keris. Akibatnya, Arya Penangsang pun tewas.
Kisah kegigihan Arya Penangsang, dikenang oleh masyarakat yang tinggal di kawasan Kabupaten Blora dan Bojonegoro. Pada perayaan adat pernikahan, pengantin pria berdandan seperti Arya Penangsang dengan menyematkan keris di pinggang. Namun, bukan dengan usus terburai pastinya. Warga di sana menggantinya dengan lilitan bunga melati. Lilitan melati adalah simbol untuk mengapresiasi sikap pantang menyerah Arya Penangsang.
Hubungan antara tokoh dan keris tak berhenti di situ. Ada pula kisah Keris Mpu Gandring: senjata sakti yang berbalik menjadi kutukan. Pusaka tersebut menewaskan pemiliknya, Ken Arok, beserta tujuh keturunannya. Selain itu, pada foto pahlawan yang marak beredar; Pangeran Diponegoro, Kyai Mojo, dan Sentot Alibasyah Prawirodirjo, digambarkan membawa sebilah keris. Para tokoh yang punya kaitan cerita dengan keris itu barangkali tidak pernah menduga, saat kini keris masih dirawat dan tetap lestari, bahkan diakui sebagai pusaka warisan budaya dunia.
“Pada tahun 2005 keris resmi diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia non-bendawi,” kata Imam Mubarok atau yang akrab disapa Gus Barok, Ketua Bidang Litbang Serikat Nasional Pelestari Tosan Aji (SENAPATI) Nusantara, Senin 12 November 2018 di Kediri.
Gus Barok mengatakan, pada Mei 2018 SENAPATI Nusantara menggelar pertemuan dengan Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Mereka membahas usulan untuk menetapkan Hari Keris Nasional. Jika terealisasi, Hari Keris Nasional akan diperingati setiap tanggal 25 November. Tanggal tersebut dipilih, karena bertepatan dengan pengesahan keris oleh UNESCO.
SENAPATI Nusantara sendiri adalah organisasi yang menaungi kantong-kantong para pegiat keris. Resmi berdiri tahun 2015, hingga kini menaungi 74 paguyuban yang tersebar di seluruh wilayah di Indonesia. Wadah para penggemar keris tersebut juga ikut berkontribusi pada berdirinya Museum Keris Nusantara di Surakarta.
Mereka yang tergabung dalam SENAPATI Nusantara, mempunyai tujuan bersama. Selain soal pelestarian, mereka memberikan edukasi kepada masyarakat. Sebab, sebagai sebuah benda, keris tidak bisa dimaknai semata-mata sebagai senjata. Hal yang lebih substansial, yaitu aspek filosofis yang terkandung di dalamnya.
Untuk memudahkan masyarakat mempelajari filosofi dan wawasan seputar keris, SENAPATI Nusantara bekerja sama dengan Balitbang Kemendikbud melakukan kajian akademis. “Riset tentang keris kini sudah selesai dan hasil-hasilnya akan dibukukan,” kata Gus Barok, pria yang juga berprofesi sebagai jurnalis dan dosen itu.
Ikhtiar yang dilakukan SENAPATI Nusantara mendapat respon positif. Dinas Pendidikan Kota Kediri akan menggunakan buku kajian tersebut guna menunjang pelajaran muatan lokal di sekolah.
Agar filosofinya dapat dengan mudah ditangkap, keris harus dijauhkan dari kesan klenik, angker, dan sinengker atau rahasia. “Sering dijumpai, tanpa disentuh keris dapat bergerak sendiri, tapi sebenarnya hal itu bisa dijelaskan melalui ilmu fisika dan biologi,” kata Gus Barok.
Dulu hanya orang tertentu saja yang boleh mempelajari keris. Menurut Gus Barok, hal itu perlu digeser. Sebab, jika dibiarkan, generasi berikutnya pasti akan kesulitan mengenali keris sebagai warisan leluhur yang mesti dirawat. (Kholisul Fatikhin)