DUDUK menyilangkan kaki, Sawir Wirastho menunjukkan belasan lembar daluang. Berwarna cokelat muda kekuningan, kertas tersebut memuat teks Arab tanpa tanda baca. Manuskrip peninggalan Pondok Pesantren Tegalsari, Ponorogo itu bukan hanya media tulis tradisional. Di baliknya terdapat kisah-kisah peradaban, spiritualitas, dan kearifan lokal.
“Daluang adalah bukti masyarakat Nusantara memiliki teknologi bahan tulis mandiri dan ramah lingkungan,” kata pria 46 tahun itu pada Sabtu, 13 September 2025.
Keturunan ke-6 Kiai Hasan Besari ini menjelaskan, daluang dikenal juga dengan kertas Gedhog atau Dlancang. Lembar media tulis ini dibuat dari kulit pohon glugu. Di daerah Sunda, tanaman bernama latin Broussonetia papyrivera Vent itu disebut saeh. Selain untuk menulis, daluang digunakan sebagai media lukis, salah satunya wayang beber.
Di era Hindu-Buddha, daluang digunakan para pendeta sebagai pakaian sehari-hari serta upacara keagamaan. Ketika Islam masuk ke Jawa, kertas ini dimanfaatkan menulis Al-Qur’an, berbagai kitab fikih, tasawuf, dan hadis.
“Dulu, di pesantren Tegalsari, daluang tidak hanya dipakai untuk keperluan menulis kitab, tapi juga untuk menyalin doa, membuat piagam, dan surat-surat penting,” ujar Sawir.
Pelukis ampas kopi itu menambahkan, kertas ini tahan ratusan tahun. Banyak naskah kuno yang ditulis di atas daluang masih bisa dibaca hingga sekarang. Cara pembuatannya dengan menguliti kulit pohon, direndam, dipukul sampai seratnya menyatu, lalu dikeringkan.
Pada abad 19, Pesantren Tegalsari Ponorogo pernah menjadi salah satu daerah penghasil daluang terbesar di Indonesia. Selain Tegalsari, ada juga produsen lain seperti Tunggilis, Garut. Hanya saja, daluang Ponorogo dinilai lebih unggul dari segi kualitas.
Keunggulan daluang Kota Reog itu ditulis René Teygeler, pelestari manuskrip kuno asal Belanda dalam bukunya “Dluwang, a Javanese/Madurese Tapa from The Papermulberry Tree”. Kertas daluang Tegalsari dijuluki Ponorogo Paper. De Indische Mercuur, salah satu surat kabar di era pemerintahan kolonial, pada 3 Januari 1923 turut mendokumentasikan proses pembuatan kertas daluang di Tegalsari.

Namun, seperti halnya produk tradisional lainnya, daluang menghadapi tekanan modernisasi. Pada awal abad ke-20, orang-orang Eropa dan Cina membawa kertas pabrikan yang murah dan mudah didapat. Di sisi lain, pohon glugu yang semakin langka membuat produksi daluang mulai meredup tahun 1950-an. Dari mulanya produksi mencapai 1000 lembar per bulan, menurun hingga 50 lembar saja.
“Matinya produksi kertas daluang di Tegalsari ini bukan sekadar soal industri, melainkan juga menghapus bentuk kemandirian, pengetahuan teknis, dan praktik ekologis,” kata Sawir.
Menurut sarjana Pendidikan Seni Rupa Universitas Negeri Malang itu, pembuatan daluang mengajarkan penghormatan pada bahan-bahan dari alam. Ada nilai-nilai etis yang tersirat dalam teknik pembuatan kertas tradisional itu. Teknik pemrosesan serat, perendaman, dan cara memukul merupakan pengetahuan berharga untuk pengembangan produk budaya berkelanjutan.

Sejak 2014, kertas daluang maupun pakaian kulit kayu daluang telah tercatat sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia (WBTBI) di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sayangnya, jumlah produsen maupun pelestarinya masih langka.
Sawir berupaya menghidupkan kembali produksi kertas daluang ini. Dia melakukan penanaman bibit daluang sejumlah 31 pohon. Berhubung di Tegalsari hanya menemukan 3 bibit, maka Sawir mendatangkan bibit dari daerah lain seperti Wonogiri, Yogyakarta, dan daerah di Jawa Barat.
“Kami ingin daluang tidak hanya menjadi cerita nostalgia, tapi bisa dihidupkan kembali sebagai produk budaya,” ujarnya.
Menurutnya, daluang bisa dikembangkan menjadi produk khas Ponorogo yang bernilai ekonomi. Jika Jika Mesir punya kertas papirus, hanji di Korea, dan washi di Jepang, maka Indonesia memiliki daluang yang sarat kisah sejarah. Setiap gulungan dan lipatannya menyimpan peradaban panjang mulai dari naskah keagamaan, hingga ilmu pengobatan dan astrologi. (Miftahul Munir, Mahasiswa Program Studi Sejarah Peradaban Islam UIN Ponorogo, sedang magang di Kediripedia.com)







Discussion about this post