KEKUASAAN serta pengaruh Kerajaan Kadiri pada abad 11 dapat dideteksi dari keberadaan aksara kuadrat. Gaya huruf atau font Jawa Kuno ini tertempel di candi, prasasti, maupun bangunan suci. Tak seperti umumnya tulisan di media batu yang diukir ke dalam, aksara ini dipahat menonjol berbentuk tiga dimensi.
Teknik pahat aksara kuadrat pada dasarnya serupa dengan proses ukir relief. Material permukaan datar pada batu dibuang sehingga menampilkan bentuk timbul. Para sejarawan menyebut pembuatan prasasti dengan aksara menonjol lebih sulit dibandingkan tulisan pahatan ke dalam.
Proses pembuatan aksara kuadrat salah satunya dapat dijumpai di Prasasti Tahi Papung, Situs Gunung Gae Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo. Berbentuk miniatur rumah, pada atap belakang terdapat huruf kuadrat yang belum selesai dikerjakan. Namun, ada lima goresan garis mal sebagai penanda pola dan batas tulisan.
“Pada bagian belakang miniatur itu hanya satu aksara saja yang selesai pengerjaannya,” kata Aang Pambudi Nugroho, sejarawan Kediri, Rabu, 22 Oktober 2025.
Dia menerangkan, pola digambar terlebih dulu agar susunan huruf kuadrat terbentuk presisi. Sebab, dari kajian epigrafi aksara ini bersifat ornamental yang lebih mengedepankan unsur keindahan. Namun, fungsinya tak sekadar menghias prasasti, tapi juga menegaskan pesan-pesan penting. Misalnya pada kalimat “Panjalu Jayati” yang berarti Kediri menang di Prasasti Hantang era Raja Jayabaya.

Dosen Universitas Andalas itu menambahkan, keberadaan Prasasti Tahi Papung ini dapat menepis anggapan mistis. Beberapa masyarakat meyakini aksara kuadrat dibuat dengan bantuan makhluk supranatural. Padahal, huruf kuadrat murni karya seni dekorasi dari peradaban lampau.
“Profesi penulis prasasti era Jawa Kuno dikenal dengan Citraleka,” ujar pakar arkeologi epigrafi Hindu-Buddha itu.
Prasasti di Jenangan Ponorogo itu disebut Tahi Papung karena tulisan di bagian depan miniatur rumah. Jika dialihbahasakan ke Indonesia, Tahi Papung berarti timbunan kotoran sapi. Prasasti ini berfungsi sebagai tempat meletakkan sesaji ritual yang berkaitan dengan pensakralan sapi.

Dalam tradisi lokal, prasasti ini tidak hanya dianggap benda bersejarah. Beberapa warga masih menganggapnya memiliki nilai sakral. Ada yang nyekar atau berziarah setiap hari-hari besar untuk “menyapa” leluhur. Meski tidak lagi digunakan dalam ritual, rasa hormat terhadap peninggalan Jawa Kuno itu masih bertahan.
“Masyarakat masih merawat dan menjaga situs ini. Setiap mendekati lebaran dan bulan puasa masyarakat pasti berkunjung,” kata Agus, salah satu warga yang tinggal di dekat prasasti.
Di sekitar prasasti itu ditemukan pula lumpang batu, dua lingga semu, dan batu bata kuno. Lebih dari sekadar batu bertulis, Prasasti Tahi Papung adalah fragmen kecil dari sejarah besar yang menarik untuk dibaca kembali. Ia bukan hanya menyimpan aksara kuadrat, tetapi juga mengandung nilai keterhubungan budaya masyarakat era sekarang dengan masa lalu. (Andre Gallentino Febriansyah, Mahasiswa Program Studi Sejarah Peradaban Islam UIN Ponorogo, sedang magang di Kediripedia.com)





Discussion about this post