LEMBAH Gunung Wilis berselimut kabut saat Jarkasi memetik buah genitri. Pria 48 tahun itu meraih ranting-ranting pohon, lalu mengambil buah berwarna ungu seukuran kelereng. Sesampainya di rumah, dia mengolah biji yang dijuluki air mata dewa itu menjadi kerajinan seperti gelang, kalung, dan tasbih.
“Buah ini dulunya dianggap tak berguna, tapi ternyata bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah,” kata pria yang disapa Janar itu Rabu, 14 Mei 2025.
Proses pengolahan biji bernama latin elaeocarpus ganitrus diawali dengan mencuci, menghilangkan serat buahnya, kemudian dijemur hingga kering. Bagian tengahnya dilubangi menggunakan bor listrik, lalu dirangkai jadi berbagai aksesoris. Bengkel produksi genitri milik Janar terletak di Dusun Besuki, Desa Jugo, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri.
Untuk kerajinan gelang, biasanya menggunakan 15 biji genitri. Sedangkan kalung 50 butir, serta tasbih sekitar 100 biji tergantung ukuran yang diinginkan. Harga jualnya variatif, mulai 5-30 ribu rupiah tergantung model dan kerumitan proses pengerjaan.
Produk aksesoris buatan Janar mulai dikenal luas ketika dipasarkan pada acara Pekan Raya UMKM Kabupaten Kediri tahun 2017. Dia tak menyangka hasil kerajinan tangannya laris. Pembeli semakin berdatangan ketika barang dijual di marketplace online.
“Saat itu sampai kewalahan, akhirnya tetangga sekitar saya ajak produksi hingga berburu di hutan,” kata Janar.
Sayangnya, banjir pesanan itu tak berlangsung lama. Masa keemasan bisnis ayah dua anak ini hanya berlangsung setahun. Permintaan mulai jarang ketika wabah Covid-19 melanda Indonesia.

Menurutnya, aksesoris genitri di Indonesia hanya tren sesaat. Namun, Janar tak menyerah menekuni bisnisnya karena berpotensi masuk pasar luar negeri seperti Jepang, Tiongkok, dan India. Buah genitri dari Gunung Wilis dianggap unik karena memiliki ciri-ciri lebih berat dan panjang dengan garis pola menyambung.
Selain itu, ukuran diameternya berkisar antara 9-13 milimeter dengan warna coklat yang lebih pekat. Kriteria ini berbeda dengan biji yang berasal dari Kebumen dan Blitar.
Guna meraih ekspor, Jenar berupaya memperluas wilayah produksi. Untuk merambah pasar luar negeri, minimal dia harus menyediakan 10.000 biji. Jika hanya mengandalkan pohon genitri liar dari hutan, tentu jumlah itu tak bisa terpenuhi.
“Menanam di rumah adalah solusi memperbanyak produksi, serta kebutuhan ekspor nantinya,” ujar Janar.
Sehari-hari, dia masih melayani pengerjaan aksesoris dan permintaan pasar lokal. Biji genitri yang telah dikeringkan itu dijual dengan harga 30 ribu rupiah per kilogram.
Salah seorang pelanggannya yaitu Erwan Yudiono. Pegiat kebudayaan yang tergabung dalam komunitas PASAK ini setiap bulan berbelanja genitri sebanyak 5 kilogram untuk dijadikan aksesoris gelang dan kalung.
Pria yang akrab disapa Jeje ini menjual produknya melalui pameran kebudayaan dan online. Dagangannya laku keras ketika menjelang perayaan hari besar umat Hindu, Budha, dan pergantian tahun baru dalam kalender Jawa atau Suro.
“Dalam kepercayaan orang Hindu, genitri digunakan sebagai aksesoris kependetaan,” kata Jeje.
Di India, genetri disebut rudraksha. Selain aksesoris, umat Hindu menggunakannya dalam kegiatan spiritual. Mereka meyakini jika genitri merupakan tetesan air mata Dewa Siwa.

Penganut Hindu Siwa mempercayai setiap garis pada rudraksha memiliki berbagai khasiat. Karakteristik biji dari Wilis bergaris lima, mengandung makna perlindungan, kebahagiaan, dan peleburan dosa.
“Pada arca Maha Resi Agastya atau murid pertama Dewa Siwa digambarkan sedang memegang aksamala semacam tasbih. Kemungkinan besar itu juga genitri,” ungkapnya.
Selain kepercayaan spiritual, buah ini digunakan sebagai pengobatan alternatif. Misalnya seseorang yang kerap mengalami kesemutan dan penderita stroke. Jika ditempelkan ke tubuh, terutama pergelangan tangan, pola bergeriginya dipercaya memperlancar aliran darah.
Di luar negeri, genetri bahkan sudah dikembangkan sebagai obat herbal. Salah satunya di India yang mengekspor rudraksha dari Indonesia. Di negera penganut Hindu terbanyak di dunia itu, genetri dihaluskan dan dikemas menggunakan kapsul untuk dikonsumsi. (Dimas Eka Wijaya)
Discussion about this post