SEKITAR 190 organisasi penghayat kepercayaan di Indonesia, hidup berdampingan dengan masyarakat yang agamanya diakui negara. Mereka menjalani hari-hari selayaknya warga pada umumnya, tetapi mendapatkan perlakuan diskriminatif dari negaranya sendiri. Meski demikian, mereka tetap bertahan: memegang ajaran leluhurnya.
Membicarakan isu kepercayaan yang belum diperhatikan pemerintah, beberapa komunitas di tanah air mengadakan pemutaran dan diskusi film “Atas Nama Percaya”. Film karya Dandhy Dwi Laksono ini merupakan program dari Indonesian Pruralities, kerjasama CRCS (Center for Religious and Cross-cultural Studies) UGM Yogyakarta, Watchdoc, Pardee School of Global Affairs, dan Boston University.
Pemutaran dan diskusi film “Atas Nama Percaya” ini juga berlangsung di Kediri, Jawa Timur. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kediri menggandeng Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Dewan Kota Kediri sebagai panitia penyelenggara. Acara digelar di Warung Kopi Maspu, Sabtu malam, 11 Januari 2020.
Tepat jam 20.00 WIB, nobar resmi dibuka oleh Ketua AJI Kediri, Aguk Fauzul. Pembawa acara kemudian mengantarkan pandangan penonton ke layar berukuran 2×1,3 meter. Hanya disoroti cahaya proyektor suasana pun hening, yang tersisa hanya bunyi dari pengeras suara yang berada di sudut ruangan. Penonton berasal dari berbagai komunitas, mahasiswa, media, dan masyarakat Kota Kediri.
“Diadakannya film ini selain untuk menambah wawasan dari kepercayaan khususnya Merapu dan Komunitas Perjalanan juga membuat kita bisa mengambil sikap atas isu pluralitas,” kata Ahmad Hidayatullah, Sekretaris Jenderal PPMI Dewan Kota Kediri.
Menurut aktivis pers mahasiswa yang akrab dipanggil Yeyen itu, acara nobar sudah dipersiapkan sejak seminggu lalu. Tiga orang pemantik dihadirkan untuk meramaikan diskusi. Mereka adalah Diah Ayu Septi Fauji, Manager Peneleh Research Training; Sunarno Dosen Psikologi IAIN Kediri; dan Rino Hayu Setyo, anggota AJI Kediri. Ketiganya menyampaikan materi dengan sudut pandang bidang masing-masing.
Film berdurasi kurang lebih tiga puluh menit ini mampu menghidupkan rasa penasaran dan membuka pandangan penonton. Ketika diskusi dibuka oleh moderator, Santi Dwi Efianti, penonton membuat catatan dari film tersebut untuk dijadikan bahan obrolan.
“Semua agama atau kepercayaan masih dalam tataran konsep. Tidak jelas wujudnya tapi kita harus percaya,” kata Rino. Dia memberikan pandangan terkait film itu dengan berapi-api.
Sedangkan menurut Dyah Ayu, dari Peneleh Research, ada tantangan besar bagi penghayat kepercayaan terkait sikap masyarakat. Dia berpendapat, bahwa kondisi kelompok Perjalanan dan Merapu dalam film tersebut harus ditindaklanjuti generasi muda sekarang termasuk mahasiswa. Agar, kearifan lokal Indonesia bisa diketahui oleh dunia luas dan bisa menjadi pusat peradaban dunia.
“Mahkamah Konstitusi pada 2019 mengesahkan kepercayaan ditulis di KTP sudah merupakan progress yang sangat luar biasa,” ujar Diah Ayu dalam mengawali diskusi.
Sementara itu, Sunarno, pemateri yang mengenakan sarung putih itu membahasnya dari kaca mata psikologi. Dia mengatakan, bahwa awal mula kepercayaan adalah spiritualitas, apapun identitasnya, kemudian melembaga menjadi agama dan dipercaya.
“Keterlibatan warga harus diakui dalam negara, sikap yang tepat atas multikultural itu harus diikat dengan moral publik,” terangnya mengutip teori dari Jonathan Edward.
Setelah pemantik mengemukakan pandangannya, penonton diberikan kesempatan memberikan tanggapan. Mereka mulai mangacungkan tangannya lalu bertanya terkait ketidakpahaman dari film tersebut, ada yang merespon pandangan pemantik, dan ada pula yang mengkritik.
Misalnya, Ruly dari Paguyuban Sangkan Paraning Dumadi Sri Aji Jayabaya. Dia mengkritik film tersebut dengan mengatakan bahwa penggunaan kata “penghayat kepercayaan” sudah berbau politik karena kepercayaan dan agama lokal itu berbeda. Dia mencontohkan bahwa kehidupan orang penghayat seperti Merapu, Sapto Darmo, dan kepercayaan yang lain, masih belum bisa lepas dari agama yang melembaga atau diakui negara.
“Film ini menurut saya kurang mengulas kisah penganut kepercayaan yang ketika sudah bersekolah atau bergabung dengan instansi negara, mereka akan secara otomatis berafiliasi dengan agama yang diakui,” jelasnya.
Beda lagi dengan Ari yang berasal dari Forum Kampung Bahasa (FKB) Kampung Inggris, Pare. Menurutnya, di masa depan agama harus menguatkan nilai-nilai budi pekerti. Dia menambahkan, seseorang yang beragama harus mampu melakukan yang terbaik dengan kepercayaannya masing-masing.
“Jika kalian beragama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, atau kepercayaan yang lain, jalani secara kaffah atau total dan bersungguh-sungguh,” ujar Ari.
Diskusi film “Atas Nama Percaya” selesai tepat jam sebelas malam. Kurang lebih dua jam, obrolan berjalan dengan diwarnai berbagi pandangan dari pemantik dan penonton. Acara resmi ditutup dengan pembacaan puisi dari Rino Hayyu Setyo yang berjudul, Setiap Kata Adalah Tanda. Usai acara resmi berakhir, penonton masih bertahan di tempat duduknya, membentuk diskusi kecil atas film “Atas Nama Percaya”. (Fajar Rahmad Ali Wardana)