JALAN Lintas Bandar Lor, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri, sudah lengang dari lalu-lalang para pelajar berangkat ke sekolah. Meski begitu, Muhammad Tasimin tetap mengendalikan gerobak yang dia dorong berada di jalur paling tepi. Pria berusia 78 tahun itu berupaya agar berbagai barang di atas alat angkut sederhana yang ia bawa; antara lain, jerigen kapasitas 30 liter, drum berdaya tampung 90 liter dan beberapa botol bekas air mineral ukuran besar dan sedang, aman selama menempuh perjalanan.
Biasanya, lelaki asli Kebumen, Jawa Tengah ini keliling menjajakan minyak tanah dengan mengitari area Jalan Penanggunan, Sekartaji sampai Pasar Bandar. Namun, pagi itu ia hanya mengangkut jerigen dan drum kosong karena kehabisan stok. Maka sebelum melanjutkan rutinitas, langkah kakinya lebih dulu dia arahkan memasuki gang-gang perkampungan, menuju lokasi kulak.
“Sudah seminggu ini tidak ada kiriman minyak tanah,” kata sosok murah senyum yang akrab disapa Pak Minyak itu, pada Rabu, 8 Januari 2020.
Sejak pemerintah memberlakukan konversi minyak tanah ke gas pada tahun 2006, tumpuan bahan bakar utama untuk kebutuhan mayoritas industri dan rumah tangga beralih ke LPG (Liquified Petroleum Gas). Kendati minyak yang bagi orang Jawa disebut sebagai lenga gas itu kian langka, Pak Minyak masih bertahan menafkahi hidupnya dari berjualan minyak tanah.
Bapak tiga anak ini telah menjalani pekerjaan tersebut sepanjang empat puluh satu tahun. Pada masa awal mengecer, dia keliling berbekal dua drum kotak, masing-masing berisi 18 liter minyak gas dengan cara dipikul. Pelanggannya rata tersebar di berbagai kawasan Kota Kediri. Seperti Pasar Pahing, Jalan Joyoboyo, Taman Siswa, Balowerti, hingga kompleks pabrik rokok Gudang Garam.
Kakek dari enam cucu ini mengenang, mulai menggunakan gerobak yang mampu mengangkat 200 liter minyak tanah, saat permintaan konsumen meningkat. Muatan penuh yang tiap hari dia bawa, seringkali ludes terjual hanya dalam kisaran sekali keliling.
Kini, dari pasokan 30 liter minyak yang dia sediakan, akan habis terjual dalam waktu satu sampai dua minggu. Minyak tanahnya ia ecer dengan harga 13 ribu Rupiah per liter. Ia juga menawarkan paket sebotol bekas air mineral. Untuk botol ukuran 1.500 mililiter dipatok senilai 20 ribu Rupiah, sedangkan ukuran 600 mililiter dijual dengan harga enam ribu Rupiah.
Pak Minyak cuma mengandalkan sedikit pelanggan lama yang tersisa di lingkup rumahnya. Umumnya, kalangan rumah tangga yang masih menggunakan kompor minyak, atau beberapa pengusaha kuliner seperti pedagang sate untuk pemantik api di kayu arang.
Biarpun jumlah pembeli semakin susut, aktivitas Pak Minyak berdagang cairan hidrokarbon itu pantang surut. Bila tidak ada kegiatan penting lain, seperti acara keluarga atau memenuhi undangan dari kerabat, dia akan berusaha tetap memacu gerobaknya setiap hari. Kebiasaan itu ia tunaikan mulai pukul delapan hingga sepuluh pagi.
“Sebenarnya, anak-anak saya sudah minta saya untuk istirahat, tapi saya tidak mau. Kalau di rumah saja malah ngantuk,” kata suami pensiunan buruh pabrik Gudang Garam itu.
Selain sebagai pengganti olahraga, menurut Pak Minyak, kegiatan keliling jualan minyak tanah seringkali dia manfaatkan jadi ajang silaturahmi. Ia jarang luput menyapa ke hampir semua warga yang dijumpa. Bagi penduduk sekitar, eksistensi kakek yang terkenal ramah itu mengingatkan bahwa minyak tanah masih ada dan belum punah. (Naim Ali)