Dua orang bertarung dan saling melancarkan serangan fisik. Beragam jurus pukulan dan tendangan dilayangkan secara bergantian. Diiringi lantunan sholawat dan sorak sorai penonton, ratusan pendekar dari berbagai perguruan ilmu bela diri berlaga dalam acara pencak dor, di Lapangan Aula Muktamar Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, Sabtu, 21 April 2018.
Pencak dor merupakan pertunjukan duel tarung gaya bebas. Di atas arena berukuran 6×6 meter yang terbuat dari kayu dan bambu, ratusan pendekar mengadu nyali dan kesaktian. Pandangan mereka menajam, air keringat mengucur deras dari pori-pori kulit, dua orang di ring memasang kuda-kuda bersiap menghujam lawan dengan serangan sporadis.
Tak ada batasan bela diri tertentu dalam gelaran pencak dor. Silat, tinju, martial art, wushu, karate, dan berbagai jenis bela diri lain bebas digunakan oleh para pendekar. Mereka yang ingin unjuk kebolehan berbaris menanti giliran. Tak jarang, ratusan pendekar tersebut saling berebut giliran, tak sabar ingin segera bertanding. Satu pertandingan di pencak dor, terbagi dalam tiga babak. Pertarungan seketika akan dihentikan oleh wasit jika ada salah satu petarung yang tersungkur.
“Di pencak dor tidak ada kalah-menang,” kata KH. Zainal Abidin, ketua Gerakan Aksi Silat Muslimin Indonesia, di lokasi acara, 21 April 2018.
Meski saat berlaga banyak pendekar yang berlumuran darah, menurut Gus Bidin tujuan mendasar diadakannya pencak dor adalah menguatkan hubungan silaturahmi. Terlibat dalam pertarungan brutal layaknya gladiator hanya terjadi di atas ring. Saat pertandingan selesai, para pendekar berbincang-bincang bahkan melempar bercanda, seolah-olah lupa bahwa beberapa menit yang lalu mereka saling adu jotos.
Embun malam mulai turun, tetapi teriakan dan sorakan penonton makin kencang. Hal itu menjadi lumrah, karena pendekar-pendekar dengan label bintang berlaga di partai utama.
“Ini musuh bebuyutan,” kata Jani, salah seorang penonton, di acara pencak dor yang didukung oleh PT. Gudang Garam Tbk. tersebut.
Pertandingan antara Michael melawan Ringgo, menjadi laga yang Jani tunggu. Jani, warga Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri ini adalah salah seorang di antara ribuan penggemar pencak dor. Menyukai pertunjukan seni bela diri sejak masih remaja, pria yang sehari-hari bekerja sebagai petani itu tak terlewat sekalipun gelaran pencak dor. Ia rutin mendatangi penyelenggaraan pencak meskipun dilaksanakan di luar kota.
“Minggu lalu, saya menghadiri pencak dor yang ada di Blitar,” kata Jani.
Sejak diinisiasi oleh KH Maksum Jauhari beberapa dekade silam, hingga kini Pencak Dor masih eksis. Gus Bidin menjelaskan, selain silaturahmi, tujuan dari terselenggaranya pencak dor yakni untuk mewadahi kegiatan adu pukul ini pada wadah yang tepat. Terselenggaranya pencak dor untuk menciptakan kondisi di masyarakat supaya lebih kondusif.
Pelaksanaan pencak dor, sejauh ini hanya digelar di kawasan Kediri dan sekitarnya. Gus Bidin, pengampu gelaran pencak dor ini sebenarnya ingin agar pencak dor merambah ke kancah yang lebih luas. Namun harus diakui, hal tersebut masih harus dikaji lebih mendalam. Dari segi perkembangan kultur, belum tentu pencak dor dapat berlangsung kondusif seperti di Kediri dan sekitarnya.
“Warga Kediri sudah matang dan paham tentang filosofi dari pencak dor, kalau digelar di daerah lain tunggu dulu,” kata Gus Bidin seusai acara. (Kholisul Fatikhin)