TITIK air masih menempel di plastik pembungkus talenan kayu bergambar Jim Morrison. Hujan baru saja reda saat senja turun di pelataran gudang di kawasan Ngronggo, Kota Kediri, Jawa Timur, Sabtu 28 November 2015. Wajah-wajah cemas berubah sumringah. Meninggalkan tempat berteduh, orang-orang kembali tekun menata booth dari tumpukan kotak bekas dari kayu kas.
Tatakan memasak bergambar vokalis kelompok musik The Doors itu, hanya salah satu karya yang mewarnai acara Create Inc. Menempati halaman terbuka di depan gudang penyimpanan rokok, 10 komunitas memamerkan berbagai karya seni dan kreatifitas. Partisi, tempat display, dan ruang repertoar, disusun dari kotak bekas pengepakan kretek. Meskipun suasana sederhana tak bisa dihindari, konsep itu membuat keintiman antara karya dan pengunjung terbangun.
“Saya dan teman-teman tertantang menata arena dari limbah industri, mengubahnya menjadi sesuatu yang tidak remeh,” kata Muhamad Prastiyo alias Cak Mat, pekerja seni senior yang turut menginisiasi Create Inc.
Di depan deretan booth, berdiri panggung konser musik. Komplek pergudangan yang terkesan kaku, semakin mengeras karena set panggung dibangun dari panel-panel kayu bekas penyimpan tembakau. Tong-tong bekas berbahan karton tebal ditata sebaga meja dan tempat duduk pengunjung. Efek industrial yang ditimbulkan, memunculkan eksotisme tersendiri. Serasa berada di zaman awal kemunculan musik blues yang dimainkan para buruh di gudang dan peternakan dengan panggung dan peralatan seadanya.
Beberapa sepeda motor modifikasi gaya cafe racer yang dipajang di depan panggung agak sedikit membelokkan kesan labour. Tapi keberadaan motor-motor itu malah menjadikan venue terasa androgini.
Yang cukup menggetarkan, di sekitar panggung, didirikan tujuh papan putih setinggi sekitar 2,5 meter – lebar 1,5 meter, dan enam lembar palet ukuran 1×1 meter. Papan itu dipakai sebagai media melukis mural selama acara berlangsung mulai petang hingga tengah malam. Tentu ini keputusan yang tidak main-main, di tengah-tengah kegelisahan para pelukis mural mencari dinding yang bisa menjadi pelepas ekspresi berkesenian mereka.
Keberanian tim Mob Organizer menabrak pakem konvensional patut diapresiasi. Model penataan venue yang menggabungkan konsep pameran dan pertunjukan di ruang terbuka, membuat pengunjung serasa hadir dalam festival. Tentu akan berbeda suasananya, jika di arena acara dibangun tenda besar pelindung hujan. “Alhamdulillah, menjelang pembukaan acara, hujan sudah reda,” kata Rizal Bombom, punggawa Mob Organizer.
Karya dan passion partisipan cukup beragam. Hampir mewakili deburan pop art yang sedang merasuki kawasan Kediri dan sekitarnya. Bayu dan Lambang CP, menghadirkan karya-karya digital printing. Dari media yang dipergunakan, orang melihat seperti lukisan biasa. Tapi sejatinya ada proses perkawinan antara teknologi komputer dan bahan konvensional seperi kanvas dan wood framing. Dengan software yang dipergunakan; kesempurnaan gambar, warna, dan proporsi bentuk menjadi tanpa cacat.
Panitia juga mengundang Foster, kelompok fotografi mahasiswa STAIN Kediri. Beberapa hasil jepretan berbagai aliran, dipajang di dekat Bengkel Kafe dan angkringan Kang Selo. Gaya hidup nongkrong dan ngopi-ngopi, cukup tergambar di dua booth kuliner itu.
Yang kian memperkaya adalah budaya ngemil para muda. Nina hadir membawa berbagai produk cupsnack. Dari merek dan asalnya, banyak yang dari luar kota. Sepertinya Nina tahu benar, dimana harus mengambil peluang di ceruk gaya para muda masa kini yang cenderung suka menjerumuskan diri pada kemasan menawan.
Deathless, mengusung dua kerja kreatif; barbershop dan distribution store (distro). Dua hal itu kini menjadi peluang bisnis menjanjikan. Selama acara, barberman terus memotong rambut pengunjung di sebelah produk clothing mereka.
Usaha kreatif yang juga menerobos gaya hidup kekinian adalah shoe clinic, Manishoespedishoes. Herta Rizka Sandi, lajang 23 tahun yang sedang menyelesaikan tugas akhir di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang, menawarkan jasa cuci dan pewarnaan sepatu. Di kota-kota besar, usaha ini banyak bermuculan. Tapi, menurut Herta merekalah yang pertama di Kediri.
Kegelisahan iklim disain interior yang sementara ini berdenyut di kalangan atas juga coba dipecahkan CY Jerie. Di bawah bendera je-Design, Sarjana Arsitetur ITS Surabaya itu menggandeng Gunawan, perupa yang berkonsentrasi di bidang lukisan dan pemanfaatan limbah. Topeng-topeng dari bahan kertas bekas ditampilkan sebagai contoh tidak ada sesuatu yang boleh dibuang. “Arsitektur bukan hanya soal gedung dan konstruksi, tapi bagaimana kita memberi roh di dalamnya dengan art display,” kata Jerie.
Secara keseluruhan, acara Create Inc. menjadi potret kesadaran berkarya dengan mengedepankan pelestarian dan daur hidup suatu benda. Di tangan para kreator berhati lembut, konsep eco design akan terus tumbuh tanpa perlu memperbincangkan batasan teori. Seperti gambar Jim Morrison di talenan memasak hasil guratan Dodoth F. Widodo Putra, terasa betul ikhtiar sang seniman mendobrak dimensi konvensional ruang rupa. “Tuhan tak pernah berhenti meniupkan keindahan, tinggal bagaimana kita menyambutnya dengan kerendahan hati, menjadikan sesuatu lebih berharga,” kata Dodoth yang sedang membangun galeri seni 98 % Art & Craft.
Mungkin, orang-orang bergemuruh seperti Andy Warhol, Edward Ruscha, atau Wedha Abdul Rasyid; tak pernah singgah mengguratkan karyanya di Kediri. Tapi spiritnya terus mengemuka di sela-sela kearifan lokal yang juga tak pernah mati. Dan gudang di dekat Pasar Grosir Ngronggo: menjadi saksi hadirnya budaya baru yang asyik dan terbuka di tepi budaya tradisional yang tetap fenomenal. (Dwidjo U. Maksum)