oleh Muchamad Nabil Haroen
Perjalanan kali ini adalah umrah yang kedua bagi saya. Kali ini saya mengajak serta istri saya, Nisrina Hamdani untuk pertama kalinya ke tanah suci. Bagi sebuah keluarga kecil seperti kami, ini sangat bermakna. Karena jarang sekali kami memiliki waktu bersama dalam tempo yang cukup lama.Kami berangkat pada 31 Januari 2016, dan kembali ke tanah air 8 Februari 2016
Dalam “spiritual trip” ini, tentu saja selain memenuhi panggilan Allah, tentu kami juga membawa banyak harapan dan doa. Baik pribadi maupun titipan sahabat dan famili. Dan yang penting lagi adalah saya selalu berdoa untuk Nahdlatul Ulama, para pendiri NU, dan Islam Nusantara. Mungkin doa saya hanyalah sebagian kecil dari jutaan doa yang dipanjatkan oleh orang lain. Namun sebisa mungkin saya berjuang dengan batas kemampuan saya. Berarti atau tidak, bagi saya, doa untuk NU ini adalah sebuah peneguhan tekad di mana saya lahir, besar, dan mengakhiri kisah saya di dunia ini dengan Nahdlatul Ulama.
KUMANDANG adzan isya’ menandai kami menjejakkan kaki di Madinah al Munawwarah. Disambut udara dingin yang kian menusuk, langkah kami justru semakin kuat. Rindu pada Rasulullah, memanjatkan doa di Raudlah. Sungguh menggebu, begitu syahdu ingatan kami saat menziarahi peristirahatan terakhir Rasulullah dua tahun yang lalu. Sejurus kemudian, kami pun segera tiba di hotel untuk istirahat dan menyiapkan fisik untuk melipatgandakan pahala di tanah haram ini.
Menjelang fajar, mata kami terjaga tanpa terpaksa. Mungkin rasa rindu lah yang membuat kami segera terbangun dari lelapnya malam. Fajar pertama kami di Madinah benar-benar membuat kami tak bisa menahan tetes demi tetes air mata kami. Terlebih di saat jamaah salat subuh di Masjid Nabawi. Bagaimana tidak? Tempat ini benar-benar istimewa. Subuh kami laksana 1000 kali subuh di tempat lain.
Dan puncaknya, ketika kami bisa memanjatkan doa di Raudlah. Berkali-kali salat Sunnah kami tunaikan di sini, tanpa terganggu sama sekali. Tentu tak lupa pula, titipan doa para sahabat dari tanah air kami panjatkan. Semoga Allah segera mengabulkan doa dan harapan para sahabat kami.
Assalamu ‘alayka ya Rasulallah, ya Habiballah. Langkah demi langkah kami menatap makam sang pemberi syafaat, kami lalui dengan penuh nikmat. Hingga tak terasa kami sudah berada di luar dan selalu ingin kembali “memeluk” dan menanti syafaat-mu, Ya Habiballah. (bersambung)