HUJAN deras mengguyur kawasan eks-lokalisasi Krian, Ngadiluwih, Kabupaten Kediri. Di jalanan becek itu, sebuah motor melaju kencang. Rodanya menggilas kubangan air hingga percikannya mengenai dua anak lelaki, sebut saja Bayu dan Enggar. Raut muka bocah 8 tahun itu tampak kesal, lalu melontarkan umpatan.
Sejak lahir, keduanya hidup di tengah lokasi pelacuran. Sore itu, mereka asyik bermain hujan sambil menendang bola, bersepeda, dan berkejar-kejaran. Keseruan terhenti ketika seorang pekerja seks komersial (PSK) bertengkar dengan pria pengunjung. Bayu dan Enggar hanya diam menonton adu mulut di tengah jalan itu.
“Kalau malam lebih ramai, banyak mas-mas yang datang,” kata Bayu, Jumat, 24 Januari 2025.
Murid kelas 2 sekolah dasar itu sudah mengenali pria pengunjung eks-lokalisasi Krian. Dari yang sekadar ngopi, nongkrong, hingga pesta minuman keras. Sehari-hari, dia juga kerap melihat para lelaki yang bercengkrama dengan PSK.
Bayu hafal betul lagu-lagu populer dangdut koplo. Ibunya, sebut saja Tari, sehari-hari membuka warung kopi dan karaoke. Teras rumah dijadikan cafe, sedangkan ruangan tengah disulap menjadi room atau bilik-bilik karaoke.
Saat malam hari, bocah itu banyak beraktivitas di ruang belakang. Saat sedang belajar, dia mengaku terganggu dengan suara keras dari bilik karaoke. Selain itu, orang tuanya juga jarang mendampinginya belajar.
“Bayu belajarnya hanya di sekolah dan mengikuti les sepulang sekolah saja,” kata Tari.
Ibu dua anak itu menambahkan, rutinitas belajar Bayu di rumah hanya mengerjakan tugas sekolah. Tari membantu menyiapkan buku-buku tugas yang harus dikerjakan. Selebihnya, dia kembali bekerja mengelola karaoke.
Tari sudah menekuni usaha di eks-Lokalisasi Krian lebih dari sepuluh tahun. Bisnis dijalankan bersama suaminya. Perempuan 40 tahun itu tak melarang anaknya ikut menemani bekerja. Dia terpaksa membiarkan Bayu melihat para PSK menjajakan diri, serta pesta-pesta minuman keras.
Menurut Tari, anak-anak lain di kawasan itu sudah terbiasa menjumpai aktivitas orang dewasa. Kepada Bayu, dia memberi pemahaman apa-apa saja yang tidak boleh ditiru.
“Yang penting anak-anak saya larang merokok dan minum-minuman keras,” ujar Tari.
Selama ini, anaknya taat pada perintah tersebut. Meski hidup di kawasan prostitusi, mereka tetap berkegiatan seperti anak pada umumnya. Di antaranya sekolah, bermain, belajar, dan mengikuti kegiatan di Taman Pendidikan Al-qur’an (TPQ).
Potret kehidupan anak di sekitar pelacuran juga dijumpai di eks-lokalisasi Gedangsewu, Pare, Kabupaten Kediri. Belasan anak tiap hari lalu lalang melewati jejeran rumah bordil. Yaitu ketika pergi ke TPQ dan bermain di lapangan sore hari. Saat malam hari ingin ngemil, anak-anak membeli makanan ringan di toko yang terletak di tengah kawasan prostitusi itu.
Eks-lokalisasi Gedangsewu beroperasi sejak tahun 1970. Di siang hari, hampir tak ada perbedaan antara rumah pelacuran dengan hunian warga.
Febri, salah seorang warga, sejak kecil sudah hidup berdampingan dengan lokalisasi. Di usianya yang kini menginjak 33 tahun, dia terbiasa menerima stigma buruk masyarakat luar.
“Saat SMA, saya kerap dituduh sebagai peminum, bahkan memiliki hubungan dengan PSK,” kata pria yang kini menjadi ustadz di TPQ dekat lokalisasi itu.
Rumah Febri hanya berjarak sekitar 10 meter dari lokasi prostitusi. Dia mengaku termasuk orang yang selamat karena tak terjerumus ke dunia malam.
Banyak teman sebayanya putus sekolah, kemudian meninggalkan rumah untuk bekerja atau menikah. Beberapa di antaranya bahkan turut berkecimpung di lokasi prostitusi.
Febri hidup layaknya masyarakat pada umumnya. Dia menikah dan memiliki satu anak perempuan berusia 9 tahun.
“Saya melarang anak bermain di kawasan prostitusi,” ujarnya.
Dia sebisa mungkin mencegah anaknya melihat langsung kegiatan prostitusi. Selebihnya, dia mengedukasi sebagai perempuan harus menutup aurat. Di usia menjelang remaja, anaknya terus diajarkan hal-hal positif. Misalnya, mengikuti kegiatan TPQ, mengajak pengajian di luar desa, mengikuti les, dan dilarang keluar malam.
“Tumbuh kembang anak itu dipengaruhi apa yang dia lihat, entah positif atau negatif.” kata Bety Malia Rahma Hidayati, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Islam Tribakti (UIT) Lirboyo Kediri.
Direktur PT. Berlian Psycology Care itu menambahkan, anak-anak yang hidup di sekitar lokalisasi tetap berkembang selayaknya anak pada umumnya. Masalah baru muncul ketika usia anak menginjak remaja. Sejumlah aspek yang terpengaruh di antaranya perubahan fisik, kematangan berfikir, kecakapan, dan kepribadian.
Pada tahap itu, mereka bisa mengingat dengan jelas, bahkan menjadi peniru ulung. Apa yang mereka lihat dan rasakan akan terbawa hingga dewasa. Keluarga harus menjadi benteng, mendampingi pertumbuhan anak dengan pola asuh yang sesuai. (Dimas Eka Wijaya)
Discussion about this post