TIDAK mudah meninggalkan tanah kelahiran yang memberikan begitu banyak catatan perjalanan kehidupan. Lahir, bernafas, berjalan, bekerja, bersaudara, berkawan, dan menghimpun berbagai kekuatan: telah menjadi ikatan kuat bagi siapapun yang tinggal di suatu kawasan permukiman. Tapi, bila terpaksa harus ditinggalkan, sepatutnya ada alasan dan jalan keluar yang sepadan.
Proyek pembangunan bandara Kediri, mencakup tanah seluas 376,57 hektare yang meliputi kawasan Kecamatan Banyakan, Grogol, dan Tarokan di Kabupaten Kediri. Lokasinya berada di sebelah barat daerah aliran sungai Brantas dan berada di lembah timur Gunung Wilis. Di areal Bandara itu, terdapat beberapa desa yang telah dihuni secara turun-temurun oleh ribuan orang manusia. Bukan hanya sejak era kolonial, namun besar kemungkinan sejak era kerajaan berabad-abad silam.
Sejak tahun 2017, proses pembebasan lahan untuk areal pelabuhan udara itu telah dirintis PT Surya Dhaha Investama (SDHI), selaku pengelola pembangunan bandara, dengan nilai ganti rugi jauh di atas Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP). Meski sebagian besar adalah lahan persawahan dan tegalan, pada akhirnya juga merenggut sejumlah kawasan perkampungan tempat tinggal masyarakat. Seluruh proses pembangunan bandara ini dibiayai sepenuhnya oleh PT Gudang Garam Tbk., raksasa kretek yang bermarkas di Kediri.
“Sebenarnya berat juga (meninggalkan kampung halaman), karena di sini adalah tanah kelahiran saya. Tapi kalau memang dibutuhkan untuk kepentingan umum, kepentingan negara, harus bagaimana lagi. Tidak apa-apa, yang penting (nilai ganti ruginya) cocok,” kata Nur Vigianto, warga Grogol, pada Sabtu, 8 Februari 2020, di Dusun Tanjung, Desa Grogol, Kabupaten Kediri.
Permukiman warga yang masuk peta proyek pembangunan bandara kediri berada di daerah Kecamatan Grogol dan Tarokan. Adapun wilayah terdampak di Banyakan tidak termasuk perumahan penduduk.
Dusun Tanjung, Desa Grogol, adalah satu-satunya kampung yang seluruh lahan serta bangunannya masuk dalam peta areal bandara. Kini, keberadaannya tinggal menyisakan puing-puing, bahkan rata dengan tanah, semua penghuninya sudah pindah ke lain wilayah
Bangunan-bangunan, termasuk beberapa fasilitas umum seperti sekolah dan tempat ibadah, yang telah dibongkar juga tampak di sebagian daerah Dusun Grogol, Bedrek, Seketo di Kecamatan Grogol, dan Dusun Bulusari di Kecamatan Tarokan. Terdapat pula beberapa permukiman yang sudah dibebaskan namun masih dihuni oleh pemilik lama.
“Itu nunggu batas waktu saja. Mereka akan pindah bila pihak pengelola mengumumkan akan membongkar rumah,” kata Nur.
Menurut pria yang akrab disapa Jhon itu, mayoritas warga terdampak proyek pembangunan bandara Kediri, telah menyebar ke berbagai daerah yang relatif dekat dengan rumah asal. Antara lain kawasan Kediri, Nganjuk, Madiun dan Jombang. Tapi ada sebagian penduduk yang tetap ingin menyatu dalam ikatan permukiman lama. Mereka hijrah ke permukiman baru yang mereka sebut Tanjung Baru.
Kawasan yang hanya berjarak sekitar satu Kilometer dari tepi bandara itu, dihuni sembilan Kepala Keluarga dari Dusun Tanjung. Ada kemungkinan, kampung kecil itu bakal terus berkembang karena cukup tersedia lahan luas di sekitarnya.
Memasuki tahun 2020, proyek strategis nasional di Kediri itu memasuki tahap pembangunan fisik. Pemerintah melalui Menteri Administrasi Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR BPN), Menteri Perhubungan, dan Menko Kemaritiman, telah sepakat melakukan ground breaking bandara tanggal 16 April 2020. Dengan kata lain, permukiman masyarakat terdampak akan segera beralih ke lokasi rumah baru.
Di perkampungan baru yang hendak ditempati orang-orang yang terelokasi dari pemukimannya, harus bisa membangun eksistensi dan kemuliaan hidup yang jauh lebih baik. Kehidupan mereka harus lebih baik dibanding saat mereka tinggal di pemukiman terdahulu, yang tak lama lagi akan berubah menjadi Bandara Internasional Kediri. (Naim Ali)