TEPAT seabad kelompok Ahmadiyah menancapkan eksistensinya di Indonesia. Bermula di Tapaktuan, Aceh pada 1925, ajaran Mirza Ghulam Ahmad itu terus berkembang. Dari awalnya 13 pengikut, anggotanya kini tercatat sebanyak 400.000 orang yang tersebar di 542 cabang.
Ahmadiyah adalah gerakan Islam yang muncul pada 23 Maret 1889 di Qadian, India. Aliran yang dibawa Mirza Ghulam Ahmad menekankan perdamaian, dialog, dan spiritual. Ahmadiyah berdiri ketika muslim India mengalami kemerosotan moral akibat penjajahan.
Penganut tarekat Ahmadiyah salah satunya dapat dijumpai di Kediri, Jawa Timur. Baik itu kelompok Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) atau maupun Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI), sama-sama eksis di kawasan yang dibelah arus Sungai Brantas ini.
Masjid JAI terletak di Kelurahan Ngadirejo, Kota Kediri. Saat Kediripedia.com berkunjung pada Senin, 23 Juni 2025, tak tampak keramaian pada masjid yang berada di tengah perkampungan itu. Bahkan ketika masuk waktu shalat dhuhur, gema adzan tak terdengar.
“Ramainya di hari-hari tertentu, misal shalat Jumat atau pengajian rutin,” kata Khadimullah Surbakti, mubalig JAI cabang Kediri.
Pria 34 tahun ini tidak melakukan dakwah terbuka seperti menggelar pengajian besar. Pendekataannya lebih mengedepankan kekeluargaan. Dia rutin mengunjungi satu persatu rumah anggota.
Pada peringatan seabad Ahmadiyah di Indonesia, JAI Kediri rencananya ikut merayakan. Namun, bentuk kegiatannya menunggu pengumuman dari JAI pusat yang bermarkas di Parung, Bogor.

Menurut Khadim, perjalanan seratus tahun Ahmadiyah acapkali melalui jalan terjal. Penolakan, diskriminasi sosial, hingga intimidasi dan kekerasan kerap dialami penganutnya di berbagai daerah.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 1980 mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah sesat karena meyakini Mirza sebagai pengganti Nabi Muhammad. Selanjutnya pada 2005, MUI menyatakan Ahmadiyah bukan agama Islam dan meminta pemerintah melarang ajarannya di Indonesia.
“Kami sama seperti umat muslim lainnya, tapi kami berbeda pandangan tentang konsep Imam Mahdi,” ujar Khadim.
Dia menambahkan, Ahmadiyah meyakini bahwa Muhammad sebagai nabi terakhir. Sedangkan Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah adalah seorang guru, pembawa berita baik, dan memperkuat dakwah Islam. Setiap masjid yang dibangun selalu terbuka untuk seluruh umat Islam.
Hingga kini, ketegangan dengan organisasi masyarakat lainnya masih muncul. Selama 2005-2011, sejumlah penolakan terjadi di markas pusat di Parung Bogor, penyerangan rumah di Pandeglang Banten, dan penyegelan masjid di berbagai daerah.
“Dari cerita pengurus terdahulu, Kediri salah satu daerah yang tidak terjadi pergolakan,” kata lelaki kelahiran Bangka Belitung itu.
Beberapa tahun lalu Khadim ditempatkan di Pare-pare, Sulawesi Selatan. Di kawasan itu dia ditolak warga dan diancam pemerintah setempat.
Hal itu berbanding jauh di Kediri. Kegiatan spiritual berjalan tanpa protes dari masyarakat. Masjid JAI dibangun pada 1990-an. Ketika pengajian, warga sekitar juga mengizinkan jamaah menutup jalan.

Khadim beberapa kali mewakili JAI dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Di kehidupan masyarakat, masjid dibuka untuk umum, mengadakan buka bersama ketika bulan puasa, dan hadir pada pengajian di lingkungan.
JAI bukan satu-satunya kelompok Ahmadiyah di Kediri. Pengikut Mirza Gulam Ahmad lainnya yaitu Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) yang eksis di Desa Adan-adan, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri. GAI masuk pada era Kolonial Belanda tahun 1930-an. Ajaran ini dibawa oleh Raden Mas Sunandar Wiryo Burhanul Arifin, anak dari sinder perkebunan di lereng Gunung Kelud.
Markas GAI Kediri dulunya ditandai plang beton bertuliskan “Ahmadiyya Anjuman Isha’ati Islam Lahore”. Letaknya berada di pinggir jalan raya Kediri-Pare. Namun, papan nama itu dirobohkan pada 2024.
“Plang kami hilangkan karena tanahnya didirikan kios. Bisnis itu dikelola jamaah,” kata Asgor Ali, Sekertaris GAI Cabang Kediri.
Pria 44 tahun ini bercerita, tugu tersebut pernah hendak ditutup pemerintah pada 2010. Saat itu, kontroversi Ahmadiyah di Indonesia sedang memanas. Akan tetapi, dia menolak penutupan papan nama itu.
Ali menegaskan bahwa GAI berbeda dengan JAI. Jika JAI mempunyai pandangan lain tentang sosok Imam Mahdi, maka GAI sama seperti muslim pada umumnya. Istilah “Ahmad” pada Ahmadiyah GAI merujuk pada Nabi Muhammad.

GAI Kediri membawahi anak cabang di sejumlah kecamatan. Misalnya di Pare, Badas, Plosoklaten, Puncu, Kepung, Plemahan, Pagu, Kayen Kidul, dan Mojoroto. Di tiap kecamatan itu, GAI tidak mendirikan masjid.
“Kami sengaja tidak membangun masjid agar bisa shalat berjamaah bersama mayoritas kelompok Islam seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah,” kata Ali.
Pria tiga anak itu menambahkan, pengikut Ahmadiyah tidak ingin dicap kelompok tertutup. Hampir seluruh peringatan Hari Besar Islam dirayakan bersama masyarakat. Mulai dari zakat, qurban, hingga kerja bakti mendirikan tempat ibadah.
Hidup damai jamaah Ahmadiyah tak lepas dari tingginya tingkat toleransi masyarakat Kediri. Hal itu dibuktikan oleh riset Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UIN Syekh Wasil Kediri tahun 2024.
“Tiap tahun indeks kerukunan umat beragama di Kediri terus meningkat,” kata Dr. Taufik Alamin, M.Si. Ketua LPPM UIN Syekh Wasil.
Menurut dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah itu, peningkatan berbarengan dengan naiknya kualitas sumber daya manusia, serta peran tokoh masyarakat dan agama. Para stakeholder berhasil membentuk, menyebarkan, dan memengaruhi opini publik, khususnya tentang toleransi.
Lebih jauh Taufik menjelaskan, adanya organisasi lintas agama mendinamisir kehidupan warga Kediri. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di Kediri berdiri pada 1998, saat Indonesia dilanda gejolak kerusuhan. Hingga sekarang, forum itu menjadi ajang konsolidasi berbagai unsur masyarakat, termasuk jamaah Ahmadiyah.

“Selain kerukunan, nilai dasar yang dipegang kuat masyarakat Kediri adalah prinsip hormat,” kata salah satu anggota FKUB Kota Kediri itu.
Prinsip hormat ini berhubungan dengan pola komunikasi masyarakat, misalnya penggunaan bahasa Jawa yang hirarkis. Dalam kehidupan sehari-hari, bahasa itu banyak berdampak pada tumbuhnya sikap toleran. (Dimas Eka Wijaya)
Discussion about this post