SEBUAH truk jungkit menumpahkan pasir di bekas persawahan padi Kelurahan Rejomulyo, Kecamatan Kota, Kota Kediri. Sejak 5 tahun terakhir, proyek perumahan marak dikerjakan di kawasan tersebut. Hamparan sawah diubah menjadi tanah kavling atau petak kecil. Di tepi jalan, terpasang banner-banner promosi hunian murah.
Beberapa hektar lahan di sekitarnya masih berupa ladang. Namun, tak jauh dari lokasi itu sudah tampak tumpukan material seperti batu, bata ringan, besi, dan semen.
“Dulu daerah ini sawah semua, tapi sebagian sudah jadi perumahan,” kata Nur Yanto, salah seorang petani, Rabu, 5 Februari 2025.
Menurutnya, proyek pemukiman mulai menyasar Rejomulyo pada tahun 2019. Saat itu, hanya dua komplek hunian berdiri. Penghuninya pun belum banyak. Ketika rumah-rumah mulai laku dan ditempati, pembangunan merambah sawah-sawah di sekitarnya.
Yanto menjelaskan, harga tanah saat itu masih lebih rendah dibandingkan tepi jalan besar. Namun, para pengembang membelinya dengan harga mahal. Beberapa petani tak kuasa menahan godaan itu. Mereka merelakan sawahnya diubah jadi komplek perumahan.
Selain tertarik dengan uang, petani menjual tanah karena anak-anak mereka tidak mau meneruskan bekerja di sawah. Kebanyakan pemuda itu memilih kerja di kantor atau merantau ke luar kota.
“Sawah yang tersisa sekarang adalah milik petani yang masih bertahan,” ujar Yanto.
Para petani itu dulunya rutin menanam padi dan jagung. Tersebab sistem pengairan berkurang serta cuaca tak menentu, beberapa tahun belakangan mereka beralih ke tebu. Jika bertahan dengan padi atau jagung hasilnya kurang maksimal. Bangunan perumahan menghalangi sinar matahari untuk tanaman.
Sawah yang berganti rumah-rumah tidak hanya terjadi di Rejomulyo. Alih fungsi lahan pertanian menjadi permukiman dijumpai pula di Kelurahan Betet, Banaran, Bandar Kidul, Tamanan, dan Mojoroto.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Kediri, luas lahan pertanian pada tahun 2022 mencapai 1861 hektar. Pada 2023, jumlahnya menurun sekitar 300 hektar.
Mohammad Ridwan, Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan (DKPP) Kota Kediri membenarkan jika terjadi penurunan lahan pertanian. Menurutnya, penurunan bukan hanya disebabkan proyek perumahan. Penyebab lainnya yaitu pelebaran jalan, jalur irigasi, serta pendirian rumah pribadi non-perumahan di lahan-lahan produktif.
“Pembangunan hunian pribadi juga cukup banyak mengurangi luas sawah,” kata Ridwan.
Khusus tentang perumahan, Pemkot Kota Kediri telah berupaya menahan laju proyek pembangunan di lahan produktif. Salah satunya dengan terbitnya Peraturan Daerah (Perda) Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) pada 2019. Selain itu, beberapa tempat juga ditetapkan sebagai Lahan Sawah Dilindungi (LSD) yang ditetapkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) dan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Tujuan diterbitkannya Perda tersebut agar hasil panen tanaman pangan di Kota Kediri bisa terjaga. Tersedianya lahan produktif di daerah ini juga dapat menjamin ketahanan pangan nasional.
“Kita tetap mengupayakan agar petani Kota Kediri bisa sejahtera,” ujar Ridwan.
Sayangnya, penurunan luas sawah dibarengi dengan berkurangnya jumlah petani. BPS mencatat pada 2023 jumlah petani mencapai 8.670 orang. Jumlahnya menurun pada 2024 menjadi 4.852 orang.

“Program regenerasi petani sudah sepatutnya menjadi prioritas pemerintah daerah,” kata Ayub Wahyu Hidayatullah, Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Kediri.
Ayub menambahkan, lahan pertanian yang berkurang akibat urbanisasi itu tak bisa dihindari. Sehingga, konsep tani modern hidroponik barangkali cocok untuk Kota Kediri. Hal yang tak kalah penting, petani harus diberi modal, peralatan, dan pelatihan.
Menurutnya, jika fasilitas dan wawasan memadai, minat anak muda jadi petani bisa tumbuh. Tanpa regenerasi dan inovasi, maka cita-cita swasembada pangan sulit tercapai di saat lahan sawah terus berkurang. (Dimas Eka Wijaya)
Discussion about this post