TREN gangguan informasi, artificial intelligence (AI), dan dinamika media, diulas pada Indonesia Fact Checking Summit (IFCS), Kamis, 2 Mei 2024 di Palembang. Acara ini diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersama AMSI (Asosiasi Media Siber Indonesia) dan Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) dengan didukung Google News Initiative.
IFCS di Palembang adalah pertemuan ketiga kalinya yang membahas persebaran informasi, khususnya sepanjang gelaran Pemilu 2024. Forum itu dihadiri lebih dari 500 peserta terdiri dari media, jurnalis, mahasiswa, dan akademisi.
Acara IFCS kali ini melakukan diskusi bertema “Findings and Challenges in Handling Information Disruption During the 2024 Election”. Sejumlah pakar yang diundang di antaranya Koordinator Koalisi CekFakta, Adi Marsiela; News Partner Manager Google Indonesia, Yos Kusuma; Ketua Presidium Mafindo Septiaji, Eko Nugroho; dan Kepala Ummi Salamah LPPSP Fisip Universitas Indonesia.
“Yang kita hadapi bukan saja akun-akun atau aktor politik, tetapi juga konten farming,” kata Septiaji.
Menurutnya, tantangan ke depan lebih banyak. Ekosistem Cek Fakta bisa menghasilkan 400-500 sebulan, sementara yang diproduksi oleh konten farming ini bisa 4-5 video per hari di tiap saluran. Jadi tantangannya bukan hanya disinformasi, tetapi juga masuknya Artificial Intelegence (AI).
Dari kondisi itu, Septiaji juga menyampaikan jika pengecekan fakta saja tidak cukup. Semua pihak harus masuk ke pencegahan (de-bunking), serta berkolaborasi dengan semua stakeholder, termasuk pihak internasional.
“Saat ini sudah ada deep fake audio dan video, sangat mungkin kalau lebih canggih akan membingungkan publik,” kata Septiaji.
Koordinator Koalisi CekFakta, Adi Marsiela mengatakan CekFakta sudah melakukan pengecekan hampir 3.523 artikel. Semuanya telah dibongkar kebohongannya pada 2023 . Sedangkan dari Januari hingga 20 April 2024 ada sebanyak 2.268 artikel yang dibongkar oleh CekFakta. Jumlah yang banyak itu karena berbarengan dengan momen pilpres 2024 dan aplikasi sirekap.
Adi menyampaikan lima topik teratas sejak Januari 2024. Antara lain Pilpres (37,5 persen), politik (13,7 persen), luar negeri (12,7 persen), penipuan (11,2 Persen) dan bencana (7,5 persen).
“Pilpres dan politik dibedakan karena momennya berbeda. Kalau isu politik terkait kebijakan pemerintah,” kata Adi.
Sementara itu Yos Kusuma, News Partner Manager Google Indonesia menyebut banyak bekerja sama dengan mitra ekosistem untuk menghadapi Pemilu. Salah satunya, membekali masyarakat agar dapat mengenali hoaks.
Ummi Salamah, Kepala LPPSP Fisip Universitas Indonesia menekankan agar cekfakta menampilkan sisi emosional agar bisa diterima banyak kalangan. “Pesan yang lebih emosional lebih diterima. Karena arsitektur dari digital adalah emosional, buktinya like, ini kan emosi,” kata Ummi Salamah.
Pada sesi sebelumnya, IFCS menghadirkan Ross Tapsell, professor dari Australian National University (ANU) sebagai keynote speaker. Ross Tapsell mengatakan para pencari fakta harus mulai memindahkan fokus. Dari sekadar konten ucapan kebencian ke tingkat yang lebih serius lagi yaitu propaganda pemerintah.
Tapsell telah melakukan riset dan membandingkan tiga negara yang sama-sama melakukan pemilu, yaitu Indonesia, Filipina dan Malaysia. Situasi yang terjadi di ketiga negara ini tidak terlalu berbeda dalam hal kampanye calon presiden melalui media sosial.
“Banyak yang mengatakan bahwa Indonesia dan Filipina itu hampir sama dalam hal ini selama pemilu, namun ada sedikit perbedaan,” kata Tapsell.
Menurut Tapsell, kandidat presiden Filipina pada masa itu Marcos Jr menggunakan media sosial TikTok untuk menggambarkan bagaimana hebatnya pemerintahan Marcos masa lalu. Ini jelas disinformasi. Berbeda dengan Calon Presiden Indonesia Prabowo Subianto dan elit Orde Baru lainnya yang tidak menuliskan sejarah masa lalu seperti Marcos. Namun keduanya sama-sama menggunakan toxic positivity dalam kampanye.
Kampanye Prabowo adalah kebalikan dari apa yang selama ini dipahami sebagai disinformasi. Daripada menggunakan taktik kampanye negatif, toxic positivity bertujuan untuk secara konsisten membangkitkan energi positif.
Misalnya, Prabowo sering kali setuju dan mengucapkan terima kasih kepada lawan-lawannya selama debat. Namun, dia menghindari wawancara dan konferensi pers yang mungkin akan membuat dia dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan sulit. Di antaranya, tentang masa lalunya atau menyoroti kebijakan-kebijakannya di masa depan.
Prabowo juga mengiyakan dan tidak pernah menjelekkan pasangan lain, termasuk kebijakan yang dilakukan pemerintah saat ini. “Hal tersebut menjadi tantangan bagi pencari fakta, termasuk mengidentifikasi kembali apakah itu bentuk disinformasi atau bukan,” ujar Tapsell.
Talkshow sesi utama diakhiri dengan makan siang. Setelah makan siang, ada beberapa talkshow lanjutan seperti Literasi Media, Preferensi Politik dan Kepercayaan Publik pada Media dan Mencari Praktik Ideal Pemeriksaan Fakta Bagi Ruang Redaksi di Era Post Truth. IFCS diakhiri dengan pidato penutup oleh Profesor Masduki dari UII tentang bagaimana media menyiapkan diri menghadapi disrupsi informasi pada Pilkada 2024. (Kholisul Fatikhin)
Discussion about this post