HINGGA memasuki era 1980-an pasca kemerdekaan, gairah panggung seni drama di Indonesia terbilang meriah. Hal itu tampak dengan melimpahnya naskah-naskah lakon dari para penyair dalam negeri. Sebut saja, Usmar Ismail, Abu Hanifah, Sitor Situmorang, Achdiat Karta Miharja, sampai Aoh Kartahadimadja. Begitu pula dengan kelahiran sejumlah kelompok teater modern, seperti Teater Populer pimpinan Teguh Karya, Teater Lembaga besutan Djadoeg Djajakusuma, dan Bengkel Teater milik WS Rendra.
Gelagat tersebut turut mendorong beragam pagelaran teater serta festival drama yang marak diadakan di berbagai pelosok provinsi. Bukan hanya sebagai alternatif hiburan masyarakat, seni pertunjukan yang kala itu beken disebut “tonil” bagi kalangan muda justru hadir sebagai tren. Sebuah dinamika penyulut kemunculan banyak kelompok teater baru di lapisan akar rumput. Sebagaimana halnya pernah terjadi di Kota Kediri, Jawa Timur.
Pada awal 1980, tercatat tidak kurang dari 23 grup teater berdiri di kota yang terbelah Sungai Brantas ini. Di antaranya, Teater Mataram dengan basis di Kelurahan Mojoroto, Teater Van De Aan di wilayah Pandean. Serta kelompok-kelompok teater lain yang tersebar di kawasan Setonogedong, Kauman, Tosaren, dan Banjaran.
“Ada grup teater yang dibentuk oleh para pelajar, paguyuban penduduk setempat, kumpulan guru, jamaah gereja, kalangan santri, dan mayoritas dimotori oleh kaum muda,” kata Elia Krisanto, mantan penggiat teater Kediri, pada Kamis, 18 Maret 2021. Saat peristiwa itu berlangsung, dia masih duduk di bangku SMAN 1 Kediri sekaligus salah satu penggerak Teater Van De Aan di Pandean.
Menurut Eli, begitu dia akrab disapa, grup-grup tonil Kediri tumbuh dan berkembang hanya berbekal gandrung pada kesenian. Mereka menempa diri dengan rutinitas latihan serta diskusi.
Pengetahuan seni, sastra, dramaturgi banyak tergali dari bacaan-bacaan di perpustakaan dan ragam artikel di majalah maupun surat kabar. Sementara topik-topik kebudayaan, mulai era Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) sampai pergolakan tokoh teater dan pujangga kontemporer seperti WS Rendra, Putu Wijaya, Teguh Karya, Armijn Pane, Motinggo Boesje, selalu jadi perbincangan seru kala ngaso di sekolah atau nongkong di gardu.

Setidaknya seminggu sekali, di periode yang juga mengiringi lahirnya drama-drama konyol arek Jawa-timuran, Kartolo CS, dilalui para dramawan Kediri dengan mengadakan pementasan. Biasanya digelar di perempatan jalan, pelataran rumah warga, gedung sekolah, sampai balai desa.
“Meski tampil dalam format sederhana, seringkali yang mereka garap adalah naskah-naskah berat,” kenang Eli.
Alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini merujuk pada naskah-naskah drama terjemahan Asrul Sani. Antara lain, “Pintu Tertutup” karya Jean-Paul Sartre, dan “Julius Caesar” karya William Shakespeare. Tak luput pula dimainkan, lakon “Bebasari” milik Si Rantai Emas, Roestam Effendi, serta sejumlah sastra klasik Rusia garapan Alexander Pushkin, Fyodor Dostoyevsky, Nikolai Gogol, dan Leo Tolstoy.
Pementasan kecil dan sporadis itu kemudian berkembang jadi bagian tak terpisahkan dalam kegiatan warga. Bagai semut dan gula, pertunjukan teater selalu hadir tiap kali masyarakat kampung membuat acara menyambut hari raya. Terutama setiap tradisi perayaan Agustusan, penampilan kelompok teater rakyat Kediri kerap muncul di puncak acara panggung gembira.
Puncak dinamika pertumbuhan teater di tlatah Kadhiri terjadi bersamaan dengan pembentukan Himpunan Teater Kediri (HTK) di seputar tahun 1982. Eli sempat didapuk sebagai ketua. Sementara dalam jajaran pengurus terdapat nama Nuruddin Hasan, mantan Wakil Ketua DPRD Kota Kediri periode 2009 – 2014 dari Partai Amanat Nasional, kini aktif sebagai politisi dari Partai Kebangkitan Bangsa.
Melalui perkumpulan tersebut, gaung teater rakyat Kediri menggema dalam berbagai aksi kongko budaya. Sebuah pementasan bergilir, biasanya dilakukan dengan anjangsana keliling perkampungan atau ke sanggar salah satu anggota HTK. Namun sayang, tradisi ini berlangsung sebentar dan hanya meninggalkan segelintir generasi.
Beberapa orang di antara yang sampai kini masih setia berjalan di jalur kesenian di Kediri ialah Mudjiono. Alumnus Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung ini akrab dipanggil Nono MJ. Sosok lainnya yaitu Subardi Agan, kini aktif mengajar di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonsia, Universitas Nusantara PGRI Kediri.
Meski terhitung jari, kiprah muda-mudi memainkan sandiwara pangung di Kediri masih bisa ditemui hingga pertengahan 1990-an. Tak lama berselang pertunjukan teater redup dari sorotan, dan makin hilang di balik gebyar layar televisi.
“Bagaimanapun saya, dan mungkin juga kawan-kawan lain, akan terus terkenang zaman kejayaan teater di Kediri,” kata Eli. (Naim Ali)
Discussion about this post