KAMIS, 30 Maret 1950, hanya berselang empat bulan pasca Bung Hatta pulang dari Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Sebuah kepulangan dari perundingan panjang yang membawa pengakuan dunia atas kedaulatan negara Indonesia. Sehingga membangkitkan iklim pembangunan di semua lini, termasuk industri film dalam negeri. Pada saat itulah Usmar Ismail mendirikan Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini). Perseroan yang disebut-sebut sebagai rumah produksi film pertama milik anak negeri.
Di hari yang sama, pemuda 29 tahun itu bersama rombongan sineas Perfini bertolak ke Subang, Jawa Barat. Di sana, mereka melakukan pengambilan gambar pertama film drama kemanusiaan berlatar perang revolusi: Darah dan Doa atau The Long March. Belakangan, peristiwa tersebut diperingati masyarakat Indonesia sebagai Hari Film Nasional.
“Darah dan Doa cukup monumental karena film pertama garapan orang-orang asli Indonesia yang secara sadar menggunakan sinema sebagai media penyadaran nasionalisme,” kata Daniel Rudi Haryanto, sutradara film dokumenter, kini mengampu Program Development di Eagle Institute Indonesia, pada Rabu, 24 Maret 2021.

Drama berlatar peristiwa pemberontakan Madiun 1948, mars Divisi Siliwangi ke barat, pemberontakan Darul Islam, hingga Indonesia berdaulat seutuhnya sebagai negara merdeka ini terfokus pada karakter Kapten Sudarto, pemimpin batalion yang diperankan oleh Del Juzar. Dalam cerita rekaan Sitor Situmorang tersebut, Sudarto tampil sebagai perwira dengan beban ideologi dari semangat revolusi. Meski begitu, dia hanyalah manusia biasa; seorang suami namun tergoda menjalin asmara dengan gadis lain. Sehingga membuat geram karibnya, Adam, dimainkan oleh Sutjipto, karena mengganggu perjuangan revolusi.
“Tetapi revolusi berjalan terus, tidak memberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sentimentil. Sekejap pun tidak. Semboyannya ialah hancur atau menghancurkan. Jalan lain tidak ada!” seruan narator film di babak klimaks Darah dan Doa.
Narasi tersebut disuarakan oleh Sjawaluddin. Adapun sinematografi serta editing film dikerjakan Max Tera. Sementara Basuki Resobowo bertindak sebagai art director dan mengurusi set lokasi.
Film kolosal yang diisi oleh para aktor dan aktris amatir itu secara jujur menampilkan manusia Indonesia apa adanya. Melalui tokoh cerita, penonton seakan bisa merasakan pergolakan sang sutradara, Usmar Ismail, yang bertumbuh di tengah gejolak revolusi.
Usmar yang mulanya menempa diri dari ketekunan sebagai penulis dan orang teater masuk ke dunia film bersamaan dengan kemunculan generasi sineas pribumi. Antara lain, Bachtiar Siagian, Asrul Sani, Rosihan Anwar, E Sambas, Suryo Sumanto dan Djamaludin Malik. Nama terakhir tersebut kelak mendirikan Perseroan Artis Indonesia (Persari), serta memelopori penyelenggaraan Festival Film Indoensia (FFI). Bersama Usmar, dia juga mendirikan organisasi Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI).

Para seniman film era kemerdekaan menyadari bahwa sebagai produk seni masa kini, sinema bukan hanya sekadar alat baru untuk bercerita. Biasanya diangkat dari dongeng rakyat atau tampil dengan dramaturgi sandiwara panggung. Sebagaimana “gambar idoep” yang banyak beredar di zaman Belanda, seperti Loetoeng Kasaroeng (1926) yang diakui sebagai film cerita lokal pertama, Lily Van Java (1928), Boenga Roos dari Tjikembang (1931), Pareh (1936), dan Terang Boelan (1937).
Bagi mereka, film seumpama corong untuk menebar gagasan sehingga jadi bagian penting dari pergerakan revolusi bangsa. Pada barisan tersebut Usmar Ismail berdiri di garda paling depan. Lebih dari itu, Usmar beranggapan membuat film tak semata-mata untuk mengeruk keuntungan komersial.
Barangkali hal tersebut yang melandasi jurnalis kawakan itu hengkang dari South Pacific Corporation (SPC), rumah produksi milik Belanda. Lalu mendirikan Perfini dan memproduksi film Darah dan Doa. Banyak orang mengakui, tindakan pria asli Bukittinggi itu justru menegaskan kedudukannya bukan hanya sekadar sebagai sineas, tapi seorang pelopor, pejuang, dan pembangun Sinema Indonesia.

“Tapi kalau saya boleh menyebut, Usmar Ismail ialah kiai-nya film Indonesia,” celetuk Daniel. Dia mengenal lebih dekat kiprah salah satu tokoh pendiri Lesbumi itu dari dosennya, Muhammad Djamhur Aliff dan Chalid Arifin, saat menjalani studi di Fakultas Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta.
Melalui MD Aliff yang juga pernah jadi pimpinan produksi di Perfini, misalnya, Daniel mendengar kisah di balik pengerjaan film Darah dan Doa. Mulai dari menyiasati problem kamera rakitan hasil rampasan perang, seluloid (pita film) kadaluarsa, sampai penggunaan petromaks untuk memenuhi kebutuhan cahaya.
Mengingat segala keterbasan produksi film pasca revolusi, menurut Chalid Arifin, pencapaian Darah dan Doa setara film penting dari gerakan neorealisme Italia pasca Perang Dunia II; Ladri di biciclette atau The Bysicle Thieves (1948) karya Vittorio De Sica. Darah dan Doa sama-sama sebuah karya sinema yang melampaui zamannya. Meski diibuat ketika Indonesia masih seumur jagung, ia tampil dengan sinematografi mumpuni. Serta menyuguhi drama realistis dan dekat dengan kehidupan penonton.
Menariknya, Darah dan Doa adalah karya keempat Usmar Ismail. Tiga film pendahulu; Harta Karun, Si Bachil, dan Tjitra, dikerjakan pada 1949 di bawah bendera SPC. Tapi salah satu pionir Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) itu selalu berpendapat bahwa filmnya yang pertama ialah Darah dan Doa. Sebab, film tersebut dianggap paling jujur mewakili dirinya sebagai sutradara.

Usmar dengan Perfini sejatinya melejit berkat film-film seperti Enam Djam di Djogja (1951), Krisis (1953), Lewat Djam Malam (1954), Tiga Dara (1956), dan Asrama Dara (1958). Meski begitu, Darah dan Doa masih hangat jadi perbincangan para pencinta dan praktisi film Indonesia masa kini. Bahkan film berbiaya 350 ribu Rupiah itu disebut-sebut sebagai tonggak kebangkitan Sinema Indonesia.
Menurut Daniel, Sinema Indonesia sering kali lahir seiring situasi krisis. Sineas penerima Director Guild Of Japan Award 2011 ini berkaca pada film Darah dan Doa yang muncul tak lama setelah revolusi. Termasuk di antaranya, Harimau Tjampa (1953) besutan Djadoeg Djajakoesoema.
Pasca 1965 meluncurkan film Apa jang Kau Tjari, Palupi? (Asrul Sani, 1969), Wajah Seorang Laki-laki (Teguh Karya, 1971), Si Mamad (Sjuman Djaja, 1973). Sementara Eros Djarot menggebrak dengan Tjut Nja’ Dhien (1988) kala bioskop Indonesia diserbu film-film picisan, Garin Nugroho menampilkan Daun di Atas Bantal (1998) di tengah krisis moneter. Setelah reformasi menghadirkan Kuldesak (Riri Reza, Mira Lesmana, Rizal Mantovani, Nan Achnas, 1999). Menyusul kemudian, film anak Petualangan Sherina (Riri Reza, 2000), dan drama remaja Ada Apa dengan Cinta? (Rudi Soedjarwo, 2002).
“Jadi, siapa tahu setelah krisis akibat pandemi Covid-19 nanti bakal lahir film Indonesia yang lebih monumental dari Darah dan Doa,” katanya. (Naim Ali)
Discussion about this post