SEKITAR dua tahun lalu, bangunan bertuliskan “JIBOEN 31 Augustus 1930” di timur perempatan Jimbun itu hancur. Bekas gardu pantau kereta uap Belanda luluh lantak, usai tertimpa pohon beringin yang roboh akibat hujan deras disertai angin puting beliung.
Peristiwa yang terjadi pada 2 April 2018 itu cukup mengejutkan warga Kediri. Berdiri nyaris seratus tahun, bangunan bercorak arsitektur kolonial adalah ikon wilayah Kediri Selatan. Selain menjadi penanda kawasan, konstruksi yang berada Desa Pule, Kecamatan Kandat, Kabupaten Kediri itu juga sarat kisah sejarah.
Di masa kolonial Belanda, perempatan Jimbun punya kontribusi penting pada kejayaan industri gula. Selain terdapat pos pantau, di komplek itu didirikan depo atau tempat reparasi kereta uap yang menarik lori dari ladang tebu ke pabrik. Depo tersebut dulunya terletak sekitar 50 meter di selatan perempatan Jimbun. Kini, bekas bengkel kereta dengan luas separuh lapangan sepak bola itu dimanfaatkan sebagai ruko.
“Jimbun di masa kolonial digunakan sebagai tempat memeriksa oli mesin uap, onderdil lori, juga menjadi halte kereta Belanda,” kata Ganang Widiyanto Kakiyat, Rabu 24 Maret 2021.
Lelaki yang akrab disapa Ganang Partho menjelaskan, informasi itu didapat dari keterangan kakeknya, Sari Rahardjo. Semasa hidup, Mbah Sari bekerja sebagai teknisi kereta di perkebunan tebu. Narasi seputar sejarah Jimbun itu pernah ditulis Ganang di situs bentangwaktu.blogspot.
Perempatan Jimbun dipilih sebagai depo dan pos pantau karena berada di lokasi strategis. Posisinya terletak di tengah 4 titik pusat komoditas perkebunan tebu. Jika ke arah utara menuju Kediri Kota dan Pabrik Gula Pesantren, arah selatan ke Pabrik Galoehan dan Blitar. Sedangkan ke timur menuju perkebunan Sumber Lumbu dan Djengkol Plosoklaten, dan arah barat ke Pabrik Gula Ngadirejo.
Ganang menambahkan, kala itu lalu lintas lokomotif uap dari empat penjuru tergolong padat. Jika memasuki musim giling tebu di musim kemarau, lalu lalang lori tebu silih berganti, bahkan hampir 24 jam. Hal itu yang menjadi alasan konstruksi bangunan pos pantau Jiboen dibuat cukup luas.
“Kalau menurut cerita kakek saya dulu, pos pantau itu juga dijaga polisi,” ujar pria yang kini berprofesi sebagai jurnalis di Radio Bandung.
Dia menerangkan, di empat arah simpang Jimbun, dulu terdapat palang pintu kereta dari empat penjuru arah. Upaya itu dilakukan agar lalu lintas tetap lancar. Sebab, selain digunakan sebagai lintasan lokomotif, Jimbun menjadi lintasan utama berbagai macam kendaraan. Misalnya, cikar, pedati, maupun mobil yang hendak menuju Blitar ke Kediri, atau sebaliknya.
Menurut Ganang, Belanda benar-benar mengatur sirkulasi kereta uap secara mapan. Pada masa tersebut, gula memang menjadi komoditas utama untuk bersaing di pasar internasional. Lewat 179 pabrik gula yang 12 di antaranya berada di Kediri, Hindia Belanda menduduki lima besar negara penghasil gula di dunia.
“Belanda menyebut kawasan itu dengan Jiboen, karena lidah mereka tidak bisa melafalkan kata Jimbun,” kata pria kelahiran Djengkol, Plosoklaten.
Penulis buku Radio Untold Story itu menambahkan, nama Jiboen diambil dari sesepuh desa yaitu Ki Ageng Jimbun. Masyarakat Kediri Selatan mengenalnya dengan sebutan Mbah Jimbun. Dia adalah murid sekaligus anggota pasukan Pangeran Diponegoro yang tinggal di wilayah itu usai Perang Jawa tahun 1830.
Tokoh tersebut diyakini sebagai orang yang membabat hutan di kawasan tersebut kemudian dijadikan permukiman. Makam Mbah Jimbun terletak di sebelah utara pos pantau Jiboen.
Pasca kemerdekaan yang ditandai dengan penyerahan aset Belanda ke Indonesia, pos pantau dan depo kereta uap sebenarnya masih beroperasi. Akan tetapi, pada 1980an sudah tidak digunakan lagi. Di pabrik-pabrik yang masih berproduksi, peran lori mengangkut tebu dari ladang menuju area pabrik digantikan kendaraan truk. Sedangkan rangkaian jalur rel yang menghubungkan ladang tebu ke pabrik gula kini tertimbun tanah dan sebagian besar hilang.
Akibat tertimpa pohon beringin, bangunan gardu bersejarah itu menyisakan lantai dan reruntuhan tembok di sebelah timur. Bangunan berbentuk limas itu dulunya resmi beroperasi pada 31 Agustus 1930. Sesuai dengan tanggal yang tertera di plakat berbahan marmer yang menempel di sisi kanan bangunan.
Untungnya, prasasti bertuliskan “DJIBOEN 31 AUGUSTUS 1930” itu berhasil diselamatkan. Benda bersejarah yang pecah menjadi tiga bagian tersebut kini disimpan Ganang. Usai mendengar informasi jika Pos Pantau runtuh, dia meminta bantuan warga sekitar agar barang itu segera diamankan.
“Jika suatu saat benda tersebut hendak diambil pemerintah ataupun instansi terkait lainnya, saya tidak keberatan menyerahkan plakat itu,” kata Ganang.
Meski belum ditetapkan sebagai benda cagar budaya, Ganang meyakini bahwa plakat itu amat berharga sehingga harus disimpan. Benda tersebut adalah bukti kuat jika Kediri di masa lalu, menjadi bagian dari lingkaran komoditas raksasa industri tebu. (Kholisul Fatikhin)
Discussion about this post