PERANG Dunia I yang berlangsung pada 1914-1918, membuat semua negara dihantam krisis ekonomi mengerikan. Tercatat, sedikitnya 4.900 triliun rupiah dihamburkan untuk membiayai salah satu peperangan terbesar dalam sejarah itu. Alhasil, situasi krisis berdampak ke Indonesia yang saat itu bernama Hindia Belanda. Harga saham jatuh, angka kemiskinan melonjak, dan pabrik-pabrik gula yang sejak tahun 1900an menjadi sandaran, dilanda kebangkrutan.
Krisis yang menandai berakhirnya kejayaan industri tebu berlangsung mulai dari 1929 sampai 1939. Selama 10 tahun itu, lahan perkebunan tebu yang semula mencapai luas 198.007 hektar, turun drastis menjadi 27.575 hektar. Komoditas gula Hindia Belanda terpuruk, padahal sebelumnya berhasil menyaingi Kuba sebagai penghasil gula terbesar di dunia.
“Era tersebut dikenal dengan The Great Depression atau istilah lainnya Krisis Malaise,” kata Yazid Bustomi, anggota komunitas Pelestari Sejarah-Budaya Kadhiri atau PASAK, Senin, 30 Maret 2021.
Pria yang akrab disapa Tomi menambahkan, krisis tersebut membuat sebagian besar pabrik gula Kolonial Belanda gulung tikar. Di kawasan Kediri, Jawa Timur, industri yang terpaksa ditutup salah satunya Pabrik Gula Soemberdadi di Desa Butuh, Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri.
Bangunan utama pabrik yang berdiri tahun 1899 itu sudah tidak dapat dijumpai lagi. Meski begitu, megahnya konstruksi pabrik masih bisa dideteksi lewat cerobong asap setinggi lebih dari 100 meter. Masyarakat Kediri Selatan mengenalnya dengan sebutan Bol Butuh. Namun, ada pula yang menjulukinya sebagai Monas Jawa.
Cerobong asap lain yang kini masih berdiri kokoh, yaitu bekas stoom PG Djatie di Loceret, Nganjuk. Sama seperti di PG Djatie, Stoom PG Soemberdadi menjadi satu-satunya bangunan yang masih eksis hingga sekarang. Jika stoom Djatie berada di area persawahan, Bol Butuh berdiri di antara rumah-rumah penduduk di Desa Butuh.
“Jalur kereta lori juga sudah hilang, tapi pos pantaunya masih ada di barat perempatan Sambi,” ujar mahasiswa Fakultas Sejarah Universitas Nusantara PGRI (UNP) Kediri.
Menurut riset data yang dilakukan Tomi, PG Soemberdadi sebenarnya sempat beroperasi kembali usai Krisis Malaise mereda pada 1939. Sahamnya diambil alih Pabrik Gula Ngadirejo yang berdiri di bawah naungan Perusahaan Swasta Belanda NV HVA atau Handels Vereniging Amsterdam. Baru dibuka kembali sekitar 3 tahun, pabrik ditutup lagi akibat kedatangan Jepang tahun 1942.
PG Soemberdadi benar-benar bangkrut, ketika terjadi Agresi Militer Belanda II pada 1948-1949. Komplek bangunan pabrik seluas 1 hektar itu dihancurkan tentara gerilya Indonesia.
“Bangunan itu ada indikasi kuat dijadikan markas serdadu Belanda, makanya dirobohkan,” kata Suparni, salah seorang warga Desa Butuh.
Kakek berusia 70 tahun mendapat informasi tersebut dari ayahnya, Abdul Ghofur. Dia dulu bekerja sebagai Waker Pabrik Gula Soemberdadi. Waker berasal dari bahasa Belanda Wachter, yang berarti petugas keamanan atau satpam.
Usai Agresi Militer Belanda berakhir dan Indonesia meraih kedaulatan sepenuhnya, aktivitas produksi PG Soemberdadi tidak dilanjutkan. Bangunan yang terbengkalai pada akhirnya dijarah masyarakat. Potongan besi dan benda berharga lainnya diambil, kemudian ditukar bahan makanan. Sementara batu bata sisa pabrik didongkel untuk membangun rumah.
Hal itulah yang mendasari komplek PG Soemberdadi kini hanya tersisa cerobong asap saja. Benda-benda yang menempel di bangunan PG, dimanfaatkan warga sekitar untuk bertahan hidup di periode awal kemerdekaan.
“Kondisi tersebut kemungkinan besar terjadi di semua bekas pabrik gula Belanda yang tidak beroperasi lagi,” kata Tomi.
Dia menambahkan, kisah penutupan PG Soemberdadi itu bisa mewakili berakhirnya era kegemilangan gula di Indonesia. Pada era orde baru, program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) sempat dicanangkan, dengan maksud mengembalikan kejayaan industri tebu. Upaya itu awalnya berjalan manis, lalu berangsur-angsur statis.
Hingga kini, industri tebu Indonesia masih kesusahan mengulangi masa keemasan. Pabrik-pabrik yang masih berproduksi, hanya difokuskan mencukupi kebutuhan gula dalam negeri. Bukan lagi sebagai komoditas ekspor pasar dunia seperti di zaman kolonial Belanda. (Kholisul Fatikhin)
Discussion about this post