DI puncak salah satu bukit di lereng Gunung Wilis terdapat batu seukuran 5 depa tangan manusia. Dengan ketinggian menjulang hingga 8 meter, batu itu tampak seperti menghujam bumi. Posisinya berdiri di antara bongkahan batu lain yang tak kalah besar, dan membentuk benda menyerupai meja dan kursi.
Jika diamati, bebatuan di bukit di timur air terjun Dolo di Dusun Besuki, Desa Jugo, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri itu tak ubahnya sisa-sisa andesit dari letusan Gunung Wilis masa silam. Namun sebagian orang percaya bahwa keberadaan batu-batu tersebut sebagai penanda lokasi gugurnya Kebo Iwa. Dia adalah lelaki dari kerajaan Bedahulu, Gianyar, Bali, yang rela mengorbankan nyawa untuk memenuhi cita-cita maha patih Gajahmada dari kerajaan Majapahit; yaitu, menyatukan Nusantara.
“Bisa dibilang peristiwa itu juga jadi awal keruntuhan kerajaan Bedahulu yang selama lebih dari empat abad berkuasa di Bali,” kata Erwan Yudiono, pemerhati sejarah, kini giat sebagai wakil ketua komunitas Pelestari Sejarah Budaya Kadhiri (Pasak), pada Kamis, 1 April 2021.
Menurut pria yang akrab dipanggil Jeje itu, kisah pengorbanan Kebo Iwa hingga kini hidup menjadi legenda. Baik bagi orang Jawa dan Bali, tokoh Kebo Iwa muncul dalam lingkaran sejarah tlatah Nusantara di kisaran abad ke-14.
Kala itu Kebo Iwa menjabat sebagai panglima militer Kerajaan Bedahulu pada masa pemerintahan Prabu Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten. Sosok yang digambarkan bertubuh besar dan kekar ini pernah mengucap janji. Yaitu, selama nafasnya masih di kandung badan, tak akan ada kerajaan manapun menguasai Bali. Termasuk di antaranya Kerjaan Majapahit.
Di waktu yang sama, Majapahit di bawah kekuasaan Tribhuwana Tunggadewi gencar melakukan ekspansi ke berbagai wilayah kerajaan lain. Tindakan ini sebagai kelanjutan dari janji sang maha patih, Gajah Mada, yang populer dengan Sumpah Palapa. Dalam ikrarnya, Gajah Mada bersumpah tidak akan melepas puasa sebelum menyatukan nusantara. Tersebut pula dalam teks Sumpah Palapa nama-nama kawasan yang akan dikuasai, salah satunya ialah Bali.
Siapa menyangka usaha Gajah Mada menyerbu Bali tersendat di selat Blambangan. Pasukan Majapahit kesulitan menembus Bali karena terhadang oleh laskar Kebo Iwa bersama Pasung Grigis. Khususnya dalam strategi perang konvensional, kedua panglima Kerjaan Bedahulu terlihat jauh di atas kekuatan Majapahit. Menyadari itu, Gajah Mada mengubah siasat dengan mengajukan kerjasama perdamaian. Taktik ini persis seperti yang dialami Pangeran Diponegoro ketika diperdaya oleh tipu muslihat Belanda.
Tanpa curiga Raja Bali menerima tawaran baik itu asalkan Bali tidak dalam penguasaan Majapahit. Sebagai penghormatan, Majapahit mengundang Kebo Iwa ke Pulau Jawa. Serta diming-imingi hadiah berupa seorang istri dari sebuah desa bernama Lemah Tulis.
Kawasan itu menurut banyak kalangan berada di Desa Watu Tulis, Kecamatan Prambon, Kabupaten Sidoarjo. Tidak sedikit pula yang beranggapan Watu Tulis terletak di daerah Kedung Wulan di situs Trowulan, Mojokerto. Di kawasan yang keabsahan lokasinya masih diperdebatkan inilah sejarah mengenang Kebo Iwa lengah, lalu dibunuh oleh Gajah Mada.
Versi cerita yang lain menyebutkan, aksi pembunuhan dilakukan Gajah Mada kala Kebo Iwa membantu menggali sumur. Saat melakukan penggalian, Kebo Iwa ditimbun batu hidup-hidup. Tapi berkat kesaktian Kebo Iwa, dia tidak bisa mati begitu saja. Maka duel pun tak terelakkan antara kedua patih dan berakhir dengan kekalahan Gajah Mada.
Dalam posisi terdesak Gajah Mada lantang berkata, bahwa Kebo Iwa adalah penghalang upaya Majapahit menyatukan nusantara. Mendengar kalimat tersebut, Kebo Iwa luluh dan menyerah. Bahkan merelakan dirinya mati di tangan Gajah Mada demi sebuah tujuan yang menurut Kebo Iwa mulia.
“Tapi berdasarkan wangsit orang Bali, saat terdesak Gajah Mada melarikan diri ke Gunung Wilis,” ujar Jeje.
Lokasinya berada di tanah landai pada puncak bukit di timur air terjun Dholo. Ditandai oleh keberadaan batu-batu besar menyerupai meja dan kursi. Untuk mencapai tempat yang dikenal bernama Batu Tulis itu hanya bisa dilakukan dengan berjalan kaki. Di sepanjang rute menanjak sejauh satu Kilometer ini banyak dijumpai tanaman Andong. Selain sebagai penghormatan terhadap leluhur, perdu berdaun warna merah itu sengaja ditanami warga untuk penunjuk jalan para peziarah.
Meski tak sedikit peziarah datang dari Kediri, Batu Tulis justru kerap dikunjungi oleh orang-orang Bali. Sebagian dari mereka percaya, di Batu Tulis Kebo Iwa gugur dan dikubur. Sebagian lain menganggap Batu Tulis ialah perwujudan Kebo Iwa yang moksa setelah merelakan diri mati di tangan Gajah Mada. Walau begitu mereka sama-sama meyakini, di sanalah Kebo Iwa mengucap kalimat perpisahan: Jiwa dan raga kukorbankan demi persatuan dan kesatuan Nusantara. (Naim Ali)
Discussion about this post